sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Sisi Gelap Industri Nikel Indonesia: Pekerja Murah hingga Kerusakan Lingkungan

Market news editor Maulina Ulfa - Riset
17/04/2024 16:18 WIB
Industri nikel Tanah Air masih menghadapi sejumlah tantangan untuk bisa memberikan dampak ekonomi yang nyata.
Sisi Gelap Industri Nikel Indonesia: Pekerja Murah hingga Kerusakan Lingkungan. (Foto: Reuters)
Sisi Gelap Industri Nikel Indonesia: Pekerja Murah hingga Kerusakan Lingkungan. (Foto: Reuters)

IDXChannel - Industri nikel Tanah Air masih menghadapi sejumlah tantangan untuk bisa memberikan dampak ekonomi yang nyata.

Laporan The Guardian, Kamis (11/4) pekan lalu menyebut, industri nikel Indonesia masih menyisakan sejumlah tantangan lingkungan hingga isu pekerja seiring dominasi investasi China.

Nikel juga disebut telah mengubah kehidupan masyarakat di pulau Sulawesi, Halmahera, dan Obi di Timur Indonesia.

Selama lebih dari satu dekade, kawasan ini telah berubah dari pengekspor bijih sederhana menjadi pengolah logam terkemuka di dunia.

Daerah pedesaan yang awalnya terpencil kini telah menjelma menjadi kawasan yang tersentuh modernitas.

Saat ini, kawasan ini menjadi rumah bagi sekitar 200 jalur produksi smelter dan 200.000 pekerja pabrik nikel. Angka pekerjaan ini mungkin masih akan bertambah lagi di masa depan.

Dominasi ‘Uang’ China

Indonesia mengandalkan industri ini sebagai tiket untuk menjadi negara maju di 2045 seiring meningkatnya permintaan nikel untuk bahan bakar baterai dan kendaraan listrik.

Indonesia bahkan memproduksi sekitar setengah dari seluruh nikel dunia dan telah membuat harga nikel dunia turun dan menyebabkan sebagian besar produsen nikel lainnya mengalami kerugian.

Ini terlihat dari kasus tutupnya perusahaan nikel berbasis Australia BHP dan Glencore yang mengumumkan akan meninggalkan produksi logam tersebut pada Februari lalu.

The Guardian menyebut, resep sukses Indonesia dalam mengembangkan industri nikel adalah batu bara yang murah, bijih nikel yang dijual murah, pekerja yang murah, dan uang (investasi) dari China.

Tercatat, menurut laporan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada 2023 China menempati peringkat kedua penanaman modal asing (PMA) setelah Singapura dengan realisasi mencapai USD7,4 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)

Riset Carnegie Endowment menemukan, selama beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan China juga berinvestasi dalam ekstraksi dan pengolahan logam Indonesia. Namun, baru setelah 2013 perusahaan-perusahaan China menjadi sumber investasi terbesar di sektor ini.

Di antara investasi China, investasi yang dilakukan oleh Tsingshan Group, produsen baja tahan karat terkemuka di dunia, adalah yang terbesar.

Salah satu investasi pertama yang dilakukan perusahaan swasta China ini adalah pembangunan pabrik baja tahan karat di Pulau Obi, Maluku Utara.

Namun, investasi sebesar USD500 juta untuk membangun pabrik peleburan melalui kemitraan dengan perusahaan milik negara Indonesia gagal hanya dalam waktu satu tahun karena menurunnya harga dan output nickel pig iron (NPI).

Demikian pula investasi lainnya—termasuk PT Indonesia Morowali Industrial Park di Morowali (IMIP), yang bekerja sama dengan Bintang Delapan, sebuah perusahaan pertambangan besar di Indonesia—dimulai antara tahun 2007 dan 2009, namun baru terwujud beberapa waktu kemudian.

Sementara melansir mining.com, China telah menginvestasikan puluhan miliar dolar ke Indonesia, membangun smelter dan menggunakan teknologi mereka untuk mendominasi pasar nikel.

Dengan cara ini, hal ini tidak berbeda dengan cara China dalam mendominasi produksi kobalt dunia yang ditambang di Kongo kemudian dikirim ke China untuk diproses menjadi mineral tanah jarang, baja, tembaga, dan lainnya.

Terlebih, Indonesia mempunyai cadangan nikel terbesar di dunia namun konsentrasi bijihnya sangat rendah.

“Menyempurnakannya menjadi kualitas baterai, atau bahkan hanya untuk membuat baja tahan karat, adalah proses yang sangat menguras energi. Hal ini didukung oleh pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara,” tulis laporan The Guardian.

Harga nikel berjangka sempat naik di atas USD18.300 per ton pada 10 April 2024 lalu, mendekati level tertinggi dalam hampir enam bulan.

Namun, harga nikel telah terjun bebas sejak Maret 2022 di mana saat itu mencapai USD48.000 per ton. Pada perdagangan Rabu (17/4), harga nikel di kisaran USD17.846 per ton. (Lihat grafik di bawah ini.)

Harga nikel sempat terangkat oleh kekhawatiran akan berkurangnya pasokan, karena Amerika Serikat (AS) dan Inggris mengeluarkan sanksi baru terhadap logam Rusia.

Pihak berwenang Barat melarang pengiriman pasokan logam produksi Rusia, termasuk nikel dan melarang bursa perdagangan logam menerima aluminium, tembaga, dan nikel baru yang diproduksi oleh negara tersebut. Impor logam Rusia ke AS dan Inggris juga dilarang.

Langkah tersebut dilakukan dalam upaya membatasi pendapatan Rusia dari ekspor logam yang membantu mendanai operasi militernya di Ukraina.

Namun, para analis berpendapat bahwa pembatasan yang dilakukan Barat sepertinya tidak akan menghentikan penjualan Rusia dan dapat menyebabkan gelombang masuknya saham-saham lama ke pasar, sehingga menyebabkan ketidakpastian di pasar komoditas.

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement