Rullu menjelaskan, kondisi tersebut merupakan hasil dari kebijakan makroprudensial pemerintah yang pro-growth.
"Kami memandang bahwa dengan kebijakan makroprudensial yang longgar dan disertai dengan likuiditas yang masih memadai, pertumbuhan kredit masih akan tetap kuat dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia meski di tengah berbagai tantangan di sepanjang tahun 2024 ini," ungkap Rully.
Meski demikian, Rully menilai terdapat juga risiko yang harus di mitigasi ke depan agar stabilitas sektor keuangan tetap terjaga, seiring kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan untuk dampak COVID-19 telah berakhir per 31 Maret 2024 yang akan menyebabkan perbankan akan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit.
Sedangkan, dikatakan Rully, pergerakan mata uang rupiah dalam jangka menengah masih sulit diprediksi karena sangat dipengaruhi oleh isu global, bukan dipengaruhi oleh kondisi dari dalam negeri.
Dalam pandangan Rully, tren pelemahan Rupiah lebih disebabkan oleh sentimen higher-for-longer suku bunga kebijakan The Fed yang kembali menyebabkan volatilitas dan ketidakpastian pasar global.