IDXChannel - Proses Penawaran Umum Perdana Saham (Initial Public Offering/IPO) PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) terus berjalan.
Meski demikian, sebagian pihak masih mempermasalahkan aksi korporasi tersebut, dengan sejumlah alasan.
Salah satunya adalah kekhawatiran bahwa proses IPO anak usaha PT Pertamina (Persero) itu merupakan langkah terselubung untuk melakukan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berikut entitas usaha di bawahnya.
"Penolakan (IPO PGE) itu Saya rasa terlalu tendensius dan berlebihan," ujar Anggota Komisi VII DPR RI, Adian Napitupulu, Kamis (16/2/2023).
Tak hanya itu, menurut Adian, gelombang penolakan tersebut juga bisa saja ditumpangi kepentingan yang ingin mendiskreditkan BUMN bahkan pemerintah menuju 2024.
"Secara logika, dengan menjadi emiten, tentu kinerja, transparansi, dan efisiensi PGE akan meningkat. Itu tentu bagus untuk perkembangan bisnis PGE ke depan," tutur Adian.
Jika kemudian ada pihak-pihak yang mengkaitkan proses IPO PGE dengan upaya privatisasi, Adian menilai hal itu sebagai tudingan yang tidak tepat.
"Karena saham yang mau dilepas (ke publik) kan tidak lebih dari 25 persen, lalu apanya yang mau diprivatisasi? Ini jelas tidak tepat," ungkap Adian.
Terlebih, Adian menjelaskan, jika kemudian momen IPO PGE ini dipolitisasi, menjadi seolah penjualan aset negara pada swasta. Tuduhan itu disebut Adian sangat tidak objektif dan bahkan berpotensi ditunggangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Atas adanya indikasi tersebut, Adian pun mengajak masyarakat lebih objektif dan tidak tendensius sehingga tidak mudah disulut dengan isu privatisasi yang tidak logis.
Apalagi, lanjutnya, terdapat beberapa poin yang jika dicermati dengan akal sehat, justru memperlihatkan bahwa IPO PGE memang sangat positif.
"Apa saja? Pertama, jumlah saham yang dilepas hanya 25 persen. Tidak sampai setengah. Komposisi tersebut menunjukkan, bahwa pemegang saham mayoritas masih tetap berada di tangan Pertamina," papar Adian.
Dengan demikian, lanjut Adian, seluruh garis kebijakan organisasi, juga tetap di bawah kendali Pertamina yang notebene Badan Usaha Milik Negara.
"Logikanya saja, bagaimana mungkin publik sebagai pemilik 25 persen saham, bisa mengambil alih dari Pertamina yang masih memiliki mayoritas saham, yaitu 75 persen? Tolong tunjukkan hitung-hitungannya kalau memang 25 persen bisa mengambil alih yang 75 persen," tandas Adian.
Sedangkan alasan kedua, ungkap Adian, adalah prinsip transparansi bersifat mandatori bagi emiten. Dengan prinsip tersebut, tidak ada celah bagi PGE untuk menutup-nutupi atau merekayasa laporan keuangan.
Artinya, semua serba fair. Setiap transaksi akan terlihat dan diawasi. Jika terdapat upaya kecurangan tentu bisa dengan mudah terbaca oleh publik.
"Yang seperti ini, bagus atau tidak? Sehat atau tidak? Makanya kalau ada yang menolak IPO PGE, tentu dipertanyakan movitasi pihak tersebut," ungkap Adian.
Ketiga, lanjut Adian, perusahaan yang bergerak di sektor panas bumi, yang notabene merupakan backbone energi baru terbarukan (EBT), PGE membutuhkan dana tidak sedikit. Dan salah satu sumber pendanaan tersebut, adalah melalui IPO.
"Jangan lupa bahwa dengan IPO, PGE tidak perlu membayar kewajiban pembayaran utang. Yang dilakukan hanya sharing keuntungan dengan investor," urai Adian.
Sedangkan alasan keempat, bahwa perusahaan panas bumi yang beroperasi di Indonesia tidak hanya PGE, namun juga ada juga perusahaan swasta lain dengan total pengusahaan tidak kurang dari 49 perusahaan, termasuk perusahaan swasta.
"Dari data itu, maka isu swastanisasi tentu semakin tidak berdasar, karena perundang-undangan memang membuka peluang bagi pihak swasta untuk mengelola panas bumi, tidak hanya sahamnya saja," tegas Adian. (TSA)