Menurut Wang, sebagai eksportir besar ke AS, WOOD tidak lepas dari dampak tarif impor. Saat ini, produk perseroan masih dikenai tarif impor 10 persen. Jika tarif impor tinggi jadi diberlakukan, pesaing WOOD dari Vietnam dan Kamboja mungkin akan dikenai tarif lebih tinggi dari Indonesia.
"Walaupun situasinya belum jelas dan sulit ditebak, WOOD sejauh ini masih aman karena tidak ada penurunan pesanan yang berarti, dan terus membuka segmen baru buat menjaga laju pertumbuhan tetap stabil," kata Wang.
Pada 2023-2024, penjualan WOOD turun cukup tajam bila dibandingkan 2020-2022. Wang menilai, saat pandemi, WOOD menikmati lonjakan penjualan, terutama akibat meningkatnya segmen building component di tengah suku bunga AS yang masih rendah.
Penjualan WOOD di AS sangat dipengaruhi suku bunga. Saat suku bunga turun, sektor properti membaik dan berdampak pada penjualan building component.
"Tapi saat pasar mulai melambat pada 2022-2023, penjualannya pun ikut melemah. Dibanding furnitur, segmen ini lebih sensitif terhadap fluktuasi suku bunga KPR," ujarnya.