Dia menuturkan, jika terjadi gempa besar di Megathrust Nankai, dipastikan deformasi batuan skala besar yang terjadi tidak akan berdampak terhadap sistem lempeng tektonik di wilayah Indonesia karena jaraknya yang sangat jauh, dan biasanya dinamika tektonik yang terjadi hanya berskala lokal hingga regional pada sistem Tunjaman Nankai.
Daryono pun melanjutkan jika gempa dahsyat di Megathrust Nankai tersebut benar-benar terjadi, apakah ada kemungkinan terjadi tsunami?
Menurut dia, kemungkinan besar gempa besar tersebut dapat memicu tsunami, karena setiap gempa besar dan dangkal di zona megathrust akan memicu terjadinya patahan dengan mekanisme naik (thrust fault) yang dapat mengganggu kolom air laut (tsunami),
“Tentu saja hal ini perlu kita waspadai, karena tsunami besar di Jepang dapat menjalar hingga wilayah Indonesia. Namun demikian kita tidak perlu khawatir karena apa yang terjadi di Jepang dapat kita pantau secara realtime dan kita analisis dengan cepat termasuk memodelkan tsunami yang bakal terjadi dan dampaknya menggunakan system InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System), sehingga BMKG akan segera menyebarluaskan informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami di seluruh wilayah Indonesia, khususnya wilayah Indonesia bagian utara,” ujarnya.
Daryono menegaskan kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai saat ini sama persis yang dirasakan dan dialami oleh ilmuwan Indonesia, khususnya terhadap “Seismic Gap” Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Siberut (M8,9). “Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata “tinggal menunggu waktu” karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” katanya.