Tren ini, ujar Dwikorita, berpotensi memperburuk dampak perubahan iklim, yang akan semakin terlihat dalam bentuk cuaca ekstrem, baik berupa banjir maupun kekeringan.
“Masalah besar yang kita hadapi adalah ketimpangan antara pasokan air yang berlimpah saat musim hujan, namun langka ketika dibutuhkan di musim kemarau,” kata dia.
Dwikorita mengatakan, untuk menghadapi proyeksi tersebut, terdapat dua solusi utama sebagai respons terhadap krisis air yang semakin memburuk yaitu restorasi sungai dan pemanenan air hujan. Kedua solusi ini harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan berbasis pada data ilmiah yang akurat.
Dwikorita juga mengingatkan, tanpa adanya upaya yang serius dan terencana dalam mengelola sumber daya air, dampak perubahan iklim akan semakin dirasakan oleh masyarakat, terutama mereka yang tinggal di wilayah-wilayah yang sudah mengalami kekurangan air bersih.
“Restorasi sungai dapat memperbaiki ekosistem sungai yang rusak, yang pada gilirannya akan meningkatkan kapasitas sungai untuk menampung dan mengalirkan air dengan lebih baik. Sementara, pemanenan air hujan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis air, terutama di daerah-daerah yang rawan kekeringan. Dengan pemanenan air hujan, kita dapat mengurangi ketergantungan pada sumber daya air permukaan yang semakin terbatas akibat perubahan iklim,” katanya.
(Dhera Arizona)