“Banyak koperasi masih dikelola secara konvensional, belum transparan, serta lemah dalam hal akuntabilitas dan inovasi,” kata Eko.
Penyebabnya, menurut Eko, karena rendahnya literasi keuangan dan manajemen koperasi, sehingga tidak sedikit pengurus koperasi yang belum memahami prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance), sehingga menyebabkan praktik yang tidak efisien hingga berujung pada kerugian anggota.
“Permasalahan lain adalah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap koperasi. Kasus-kasus koperasi bermasalah seperti Koperasi Simpan Pinjam yang gagal bayar, hingga praktik investasi bodong yang mengatasnamakan koperasi telah menurunkan citra koperasi secara umum,” kata Eko.
Di tengah tantangan tersebut, lanjutnya, semangat reformasi koperasi harus terus digaungkan. Pemerintah melalui Kementerian Koperasi menargetkan koperasi sebagai motor penggerak ekonomi rakyat yang inklusif dan berkelanjutan.
Harapan utamanya adalah koperasi tidak hanya menjadi tempat simpan pinjam, tetapi berkembang sebagai ekosistem bisnis rakyat yang mampu bersaing di era ekonomi digital.
Koperasi diharapkan menjadi wadah yang memperkuat ekonomi lokal, memperluas lapangan kerja, dan mengurangi ketimpangan sosial.
"Di sektor pertanian, misalnya, koperasi dapat berperan dalam mengkonsolidasikan hasil produksi petani agar memiliki daya tawar yang lebih kuat di pasar. Begitu pula di sektor perikanan, pariwisata, dan industri kreatif," katanya.