Dwikorita menegaskan, pada saat itu terjadi anomali iklim yang harusnya musim kemarau dari pengaruh monsun Australia namun ada pengaruh dari Samudra Pasifik sehingga musim kemarau di tahun 2020 hingga 2022 adalah kemarau basah.
“Karena ada peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia akibat fenomena La Nina, anomali iklim yang dikontrol oleh Samudra Pasifik. Sehingga musim kemaraunya saat itu adalah kemarau basah. Bahkan sering terjadi cuaca ekstrem berkali-kali di sepanjang musim kemarau,” ujarnya.
Sebaliknya, kata Dwikorita, bisa juga musim kemarau tapi kemaraunya sangat kering dan berkepanjangan seperti tahun lalu. Hal ini dipengaruhi oleh El Nino dimana ada perbedaan suhu muka air laut di wilayah Samudra Pasifik terhadap wilayah suhu muka air laut di perairan Indonesia.
“Sehingga berdampak terjadinya kekeringan yang berkepanjangan. Demikian juga Samudra Hindia juga bisa mengakibatkan Indian Ocean Dipole (IOD) juga suhu muka air laut yang ada di Samudra Hindia, bisa berdampak mengakibatkan wilayah Indonesia menjadi lebih kering dari rata-rata klimatologinya, sehingga curah hujannya menjadi meningkat sama, bisa,” ujarnya.
(YNA)