Diketahui, kasus ini bermula dari Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) PT Antam. Unit bisnis itu memiliki satuan refining untuk melakukan pemurnian emas, logam dan perak.
Kegiatan pemurnian tersebut pada intinya berupa pengolahan untuk memisahkan emas, perak, platina, paladium dari unsur pengotornya. Ada juga jasa pemurnian scrap atau emas cucian yang merupakan jasa pemurnian dan pembuatan emas batangan.
Dalam praktiknya, enam terdakwa dari PT Antam tersebut bersama tujuh terdakwa swasta yang terdiri dari Lindawati Effendi; Suryadi Lukmantara; Suryadi Jonathan; James Tamponawas; Gluria Asih Rahayu; Djudju Tanuwidjaja (Direktur PT Jardintraco Utama); dan Hok Kioen Tjay tidak melakukan kajian bisnis intelijen untuk memastikan asal-usul sumber emas yang akan diberi logo LM.
Para terdakwa swasta itu menyediakan bahan baku emas rongsokan untuk dicetak menjadi emas batangan. Hasil emas batangan kemudian dicap merek berupa logo LM hingga diberikan tanda LBMA-sertifikasi Komite Akreditasi Nasional (KAN). Sertifikasi itu untuk menjamin bahwa produk emas tersebut berasal dari sumber yang legal.
Selama persidangan, jaksa menilai perbuatan kerja sama itu memperkaya tujuh terdakwa dari pihak swasta. Sebaliknya, akibat kerja sama tersebut negara justru dirugikan sebesar Rp3,3 triliun.
(Ahmad Islamy Jamil)