Menurut Arcandra, Operating Cash Flow (OCF) dari 6 perusahaan minyak di tahun 2022 memecahkan rekor tertinggi yang pernah terjadi. Sejak tahun 2006, rekor tertinggi pernah terjadi pada tahun 2008 yang nilainya mencapi USD220 miliar. Namun pada tahun 2022 rekor ini terlampau dengan OCF mencapai USD320 miliar.
"Peningkatan OCF yang sangat signifikan ini bisa dimaknai dari berbagai sudut pandang. Salah satunya adalah industry oil and gas belum menemui titik balik untuk menjadi sunset industry. Selain masih menghasilkan keuntungan yang sangat besar, kebutuhan dunia akan fosil energi masih belum tergantikan," jelasnya.
Akibat besarnya OCF di tahun 2022, perusahaan migas raksasa mulai kelihatan goyah dengan komitmen mereka yang akan mengurangi investasi di sektor energi fosil.
"BP misalnya berjanji di tahun 2020 akan mengurangi produksi oil dan gas sebanyak 40% pada tahun 2030. Namun janji itu mereka ubah menjadi hanya 25% pada tahun 2030," jelas dia.
Lebih lanjut Arcandra menjelaskan, dari sisi investasi, capital investment yang dianggarkan oleh ExxonMobil dan Shell tahun ini juga luar biasa. ExxonMobil punya anggaran sekitar USD23-USD25 miliar sementara Shell sekitar USD23-USD27 miliar. Patut diduga capital investment ini sebagian besar akan mengalir ke sektor migas.
Begitu juga dengan perusahaan minyak dunia yang lain. Anggaran investasi di sektor migas meningkat 15% dibandingkan tahun 2022.
"Dengan anggaran investasi yang cukup besar di tahun ini dan diperkuat oleh prediksi harga minyak yang stabil di level USD80-USD90 per barel, kegiatan eksplorasi di wilayah-wilayah yang dulunya dianggap kurang menarik dan susah, sekarang mulai dilakukan," papar dia.
"Diharapkan di tahun-tahun mendatang penemuan ladang minyak baru yang signifikan bisa terealisasi, sehingga kebutuhan dunia terhadap minyak bisa terpenuhi," tukas Arcandra.
(YNA)