"Sekali lagi kami selalu mengatakan bahwa tidak ada sekelompok orang atau organisasi atau bahkan kepala negara yang mampu memprediksi harga minyak pada masa datang. Selain hukum supply dan demand, harga minyak dipengaruhi banyak hal termasuk geopolitik dunia," terangnya.
Arcandra menilai, dengan naiknya permintaan sekitar 2 juta bpd di 2023, dan pemangkasan produksi OPEC+ tahun 2022 ada kemungkinan harga minyak tetap bertahan pada level USD80-USD90 per barel di tahun ini. Salah atau faktor yang mungkin bisa mengubah level harga ini adalah berakhirnya konflik Ukraina-Rusia.
Dalam analisisnya itu, Arcandra juga berpendapat, banyak skenario mungkin akan terjadi, di antaranya adalah pipa gas Nordstream 1 dan 2 diperbolehkan untuk beroperasi dengan normal, sehingga pasokan gas ke negara-negara Eropa dapat terpenuhi kembali.
Dengan normalnya pasokan gas ke Eropa, maka inflasi tinggi yang diakibatkan oleh krisis energi bisa teratasi. Dampaknya, kebutuhan minyak mentah dan batu bara otomatis juga akan terkoreksi dan harga minyak kemungkinan bisa turun pada level dibawah USD80 per barel.
"Namun demikian, jika berakhirnya konflik Ukraina-Rusia dengan beberapa syarat yang membuat sektor energi Rusia tertekan atau tidak berjalan dengan semestinya, maka harga minyak bisa tetap di level USD80-USD90 per barel atau bahkan lebih tinggi. Negara-negara pengimpor minyak tentu akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan energi mereka," paparnya.
Bagaimana dengan perusahaan migas terbesar dunia seperti ExxonMobile, Chevron, Shell, BP, Equinor dan Total Energies menyikapi harga minyak yang tinggi di tahun 2022 dan strategi di tahun 2023?