Kedua, what, apa saja produk wakaf? Para siswa sudah harus dikenalkan dengan aneka ragam produk wakaf kontemporer. Produk wakaf yang disinergikan dengan ekonomi modern dan perbankan perlu dikenal dan dipahami siswa.
Literasi wakaf umat Islam terhadap produk wakaf kontemporer masih rendah. Sedikit sekali yang mengenal cash waqf linked sukuk, produk wakaf yang dikombinasikan dengan sukuk negara. Bank wakaf mikro juga perlu masuk dalam kurikulum wakaf, sehingga siswa memiliki pemahaman tentang adanya entitas lembaga keuangan mikro berbasis wakaf.
Ketiga, how, bagaimana cara berwakaf? Proses internalisasi dan pengenalan produk-produk wakaf yang sudah disampaikan perlu disempurnakan dengan penjelasan bagaimana cara berwakaf? Lewat cara apa saja kita bisa berwakaf?
Saat ini berwakaf bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik lewat Lembaga Ziswaf, BWI, ataupun Bank-bank Syariah yang menerima wakaf uang. Berbagai platform pembayaran wakaf juga perlu dikenalkan kepada siswa, terlebih dengan karakteristik generasi zilenial yang digital native.
Pertanyaannya kemudian, siapakah yang bertugas menyusun dan mengembangkan kurikulum wakaf di sekolah? Dalam hal ini, Badan Wakaf Indonesia (BWI) bisa berkolaborasi dengan Kementrian Agama (Kemenag) dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
BWI berperan sebagai konseptor dari sisi konten kurikulum, sementara Kemenag dan Kemdikbud berperan pada sisi pedagogisnya. Yakni, bagaimana konten kurikulum wakaf yang disusun BWI bisa diterapkan dalam pembelajaran di sekolah.
Berapa alokasi jam pelajarannya dalam satu semester, bagaimana rancangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajarannya (RPP)? Di sinilah ruang kontribusi bagi Kemenag dan Kemdikbud. Bahkan, bisa sampai pada penyusunan buku panduannya. Pusat Pengembangan Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemdikbud dan Kemenag bisa dioptimalkan untuk menjalankan peran ini.
Seyogyanya, tidak sulit untuk merealisasikan gagasan masuknya wakaf dalam kurikulum sekolah sebagai bentuk gerakan literasi wakaf. Hanya diperlukan komitmen dari BWI, Kemenag, dan Kemdikbud untuk membuat payung hukumnya. Bisa dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Peraturan Menteri Agama.
Selanjutnya, BWI dan Puskurbuk bisa menjadi konseptor penyusunan kurikulum wakaf di sekolah. Kurikulum wakaf bisa terus dikembangkan seiring dengan perkembangan wakaf dengan produk-produk wakaf kontemporernya. Artinya, kurikulum wakaf ini menjadi living curriculum, bisa diperbarui sesuai kebutuhan dan perkembangan.
Dengan demikian, kita berharap indeks literasi wakaf nasional bisa terus naik setiap tahunnya. Harapannya bisa linear dengan peningkatan realisasi penghimpunan wakaf nasional. Pada akhirnya, bisa berkontribusi dalam mendongkrak pembangunan nasional dan pemerataan kesejahteraan. (Adv)