Berdasarkan qiyas, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Mudzakkiratul Fiqh mengatakan demikian, Karena gadai adalah kebutuhan, baik penggadai (murtahin) maupun pegadai (rahin), qiyas dan pandangan yang benar memungkinkan ada gadai.
Berdasarkan ijma, Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyebutkan secara umum, kaum muslimin bersepakat bahwa gadai diperbolehkan dalam kehidupan sehari-hari jika diperlukan.
Adapun hukum tentang bergadai dalam Islam juga ditentukan berdasarkan kondisinya, apakah sedang mukim (tetap) atau keadaan safar (dalam perjalanan). Meskipun ayat yang disitir memiliki konteks tentang gadai dalam keadaan safar, tidak berarti bahwa mereka yang mukim tidak diperbolehkan.
Pada keadaan safar, justru sulit bagi seseorang untuk menemukan saksi atau penulis. Jadi, gadai lebih mungkin untuk dilakukan. Lebih mudah pula untuk memberikan sesuatu sebagai barang gadaian.
Hukum bergadai lain yang bisa dipahami dari Tafsir as-Sa di menyebutkan bahwa tujuan gadai adalah menjamin kepercayaan. Apabila pihak pemberi pinjaman merasa percaya terhadap penghutang serta suka melakukan transaksi tanpa barang jaminan, hal ini juga sah-sah saja. Namun, di sisi lain pengutang juga harus menunaikan tanggung jawabnya untuk membayar utang tersebut meskipun tanpa barang gadai.