Selain moneter, Rasulullah juga menerapkan kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal pada saat itu memiliki sistem mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Mengingat pemerintah adalah pasar ekonomi terbesar dalam hal besar pendapatan dan penerimaannya.
Pengeluaran pemerintah sendiri mencangkup kepentingan pendidikan dan kebudayaan, dakwah, Ilmu pengetahuan dan teknologi, hankam, belanja pegawai, serta kesejahteraan sosial. Sistem fiskal ini adalah sebagai solusi atas resesi yang terjadi pada zaman itu.
Selain itu pendapatan juga berasal dari penerimaan zakat yang dihitung berdasarkan persentase, sehingga bisa menstabilkan harga dan menekan inflasi saat permintaan agregat lebih besar daripada penawaran agregat. Harga dan jumlah penawaran tetap stabil dan tidak dipengaruhi sistem zakat yang berlaku.
Selanjutnya, pada zaman pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab terjadi krisis yang disebut Tahun Ramadah. Ada pendapat yang mengatakan peristiwa itu terjadi pada tahun 18 H dan ada juga yang berpendapat bahwa terjadi pada akhir tahun 17 H.
Namun, mayoritas mengatakan krisis terjadi pada tahun 18 H Tahun Ramadah adalah sebuah bencana yang menimpa banyak orang. Kala itu kemarau panjang melanda wilayah Hijaz sehingga berdampak buruk pada kondisi ekonomi penduduknya.
Kemudian, juga terjadi wabah berat dan kelaparan yang berlangsung selama sembilan bulan. Krisis ini terjadi di wilayah Hijaz dan di luar Jazirah Arab seperti Najd, Tihamah, dan Yaman.
Manajemen pun dilakukan Umar Bin Khatab untuk mengatasi krisis ekonomi. Pertama, yaitu pembagian tempat untuk pengungsi di beberapa titik secara seimbang. Bantuan diberikan dengan teratur, baik kepada penduduk yang berada di tempat pengungsian maupun yang masih bertahan di permukiman mereka, sehingga mereka tidak kelaparan.
Dana untuk bantuan tersebut diambil dari baitul mal hingga tak bersisa. Khalifah Umar juga mengirimkan surat ke seluruh gubernur di wilayah Islam untuk memberikan bantuan kepada warga yang terdampak krisis ekonomi.