Berbeda dengan inflasi dan deflasi yang mengacu pada arah harga, disinflasi mengacu pada tingkat perubahan tingkat inflasi.
“Kawasan ini sekarang juga memasuki periode di mana permintaan domestik cenderung melambat, menurut pandangan kami, yang mencerminkan efek lambat dari normalisasi kebijakan moneter. Karena permintaan domestik mendingin dan inflasi inti turun secara terus-menerus, ini akan memerlukan perubahan suku bunga ke pengaturan yang tidak terlalu ketat,” kata ekonom Nomura.
Mereka menambahkan bahwa kondisi yang lebih ketat di pasar tenaga kerja, tidak seperti AS, tidak menjadi perhatian Asia, kecuali Singapura.
“Jadi inflasi inti tidak terlalu berisiko. Karakteristik inflasi di Asia lebih didorong oleh penawaran daripada permintaan,” kata catatan Nomura.
Indeks harga produsen di China bahkan telah memasuki wilayah deflasi, sementara inflasi Korea Selatan berkisar sekitar 2,7 persen dan mendekati target bank sentralnya.
“Disinflasi berkembang jauh lebih cepat di kawasan ini, terutama di negara pasar berkembang Asia, di mana makanan dan energi memiliki bobot lebih tinggi dalam menyumbang dan lonjakan inflasi lebih didorong oleh sisi penawaran,” tulis para ekonom Nomura.
Posisi Indonesia
Dalam riset terbarunya, Nomura juga menyebut kemungkinan Indonesia akan menurunkan suku bunga lebih cepat dibanding The Fed. Indonesia bahkan memiliki kemungkinan menurunkan suku bunga sebesar 30,8 persen.
Terakhir, Bank Indonesia menaikkan kebijakan suku bunga pada awal tahun, tepatnya pada Januari 2023 dengan kenaikan sebesar 25 basis poin (bps). Pada pertemuan bank sentral selanjutnya, BI tetap mempertahankan suku bunga di level 5,75 persen hingga Juni 2023.
Secara makroekonomi, kondisi Indonesia memang masih terpantau lebih tangguh dibandingkan negara-negara tetangga.
Dalam laporan RDG Juni 2023, BI mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik didukung oleh permintaan domestik dan positifnya kinerja ekspor.
BI menyebut kenaikan konsumsi rumah tangga berlanjut didorong oleh terus naiknya mobilitas, membaiknya ekspektasi pendapatan, dan terkendalinya inflasi.
Investasi juga tetap kuat terutama investasi nonbangunan sejalan dengan kinerja ekspor yang positif dan berlanjutnya program hilirisasi pemerintah.
Kinerja pariwisata juga membaik sejalan dengan kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara.
Hasil survei Bank Indonesia tentang keyakinan konsumen juga masih kuat dan penjualan eceran yang tumbuh positif. Sementara, indikator dini Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur yang masih berada di zona ekspansi.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) masih dapat diandalkan seiring dengan berlanjutnya surplus neraca perdagangan, dimana sampai dengan Mei 2023 tercatat sebesar USD4,4 miliar.
Ke depan, pertumbuhan ekonomi 2023 diprakirakan tetap berada dalam kisaran proyeksi BI pada 4,5-5,3 persen. (ADF)