Pekan lalu, UOB mengatakan bahwa NIM berada pada level 2,02 persen pada bulan Oktober-Desember dan menjadi yang terendah sepanjang kuartal pada 2023. Puncak NIM tahun lalu mencapai 2,14 persen pada bulan Januari-Maret, dengan hasil yang terus menurun selama beberapa kuartal berturut-turut.
“Sangat jelas terlihat pada lingkungan penurunan suku bunga di mana kemampuan untuk mengelola biaya simpanan akan lebih penting daripada kemampuan untuk mengelola imbal hasil. Tantangan yang kita hadapi adalah mempertahankan NIM. Kita harus mengelola basis simpanan kita secara agresif,”kata Lee Wai Fai, chief financial officer UOB, dalam laporan pendapatan minggu lalu.
Adapun DBS sebagai bank terbesar di Asia Tenggara berdasarkan total aset, awal bulan ini melaporkan bahwa NIM pada bulan Oktober-Desember mencapai 2,13 persen, hanya sedikit di atas 2,12 persen yang tercatat pada bulan Januari-Maret dan merupakan angka terendah kedua tahun lalu. Kinerja puncak tahun 2023 tercatat pada Juli-September dengan NIM yang tercatat sebesar 2,19 persen.
“Kami mengambil keputusan sadar untuk menempatkan beberapa aset dengan suku bunga tetap pada akhir kuartal ketiga dan keempat,” kata CEO DBS Piyush Gupta saat melakukan panggilan pendapatan bulan ini.
Gupta menambahkan, DBS telah mempersiapkan pendanaan sebesar SGD30 miliar dalam beberapa waktu ke depan hanya untuk mengunci suku bunga guna melindungi perusahaan dari kondisi penurunan suku bunga.
Sebuah laporan dari perusahaan jasa keuangan Jefferies awal bulan ini mencatat memburuknya prospek makroekonomi global dapat menjadi risiko bagi DBS. Kondisi makroekonomi ini dapat membatasi kenaikan keuntungan modal bagi bank tersebut.
Di negara-negara ASEAN lainnya, bank-bank pemberi pinjaman di Thailand dan Indonesia juga bergulat dengan tekanan pada pendapatan.
Lembaga penelitian kredit CreditSights mencatat, di Indonesia pada Februari bahwa dua lembaga perbankan pelat merah, yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) menunjukkan kinerja yang kuat tahun lalu, meskipun keduanya menghadapi tekanan NIM yang lebih besar.
“Biaya dana [cost of fund] naik lagi pada kuartal keempat sehingga kedua bank mengalami kompresi NIM kuartal-ke-kuartal. Kedua bank ini telah menetapkan NIM tahun keuangan 2024 yang datar hingga sedikit lebih rendah secara keseluruhan," kata laporan CreditSights.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia, kinerja laba industri perbankan di Indonesia terdorong oleh raupan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) yang mencapai Rp529,66 triliun pada 2023.
Angka ini naik 8,57 persen yoy di tengah tantangan tren suku bunga acuan tinggi. Perbankan di Tanah Air juga terpantau mencatatkan kinerja rasio NIM yang relatif stabil secara rata-rata sepanjang 2023. NIM bank juga masih meningkat dari 4,46 persen pada 2022 menjadi 4,93 persen pada 2023.
Adapun sepanjang paruh pertama tahun ini, keempat bank jumbo yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) rata-rata membukukan NIM sekitar 5,56 persen. Angka tersebut naik tipis dari NIM pada paruh pertama 2022 yang sebesar 5,52 persen secara rata-rata.
Dalam laporan tahunan 2023, BBRI mencatatkan NIM paling tinggi mencapai 6,84 persen naik dibanding tahun 2022 yang mencapai 6,8 persen.
Di urutan kedua, BBCA mencatat 5,5 persen, naik dibanding tahun 2022 sebesar 5,3 persen. Di urutan ketiga, BMRI mencatatkan NIM 5,25 persen, lebih tinggi dibanding 2022 sebesar 5,16 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Bergeser ke Thailand, CreditSights mencatat dalam laporan bulan Januari bahwa industri perbankan Thailand, termasuk di antaranya Krung Thai Bank, TMB Thanachart Bank dan Bangkok Bank, mencatatkan NIM telah mendekati atau telah mencapai puncaknya secara triwulanan.
“Pertumbuhan pinjaman kembali mengalami pelemahan pada kuartal ini [Oktober hingga Desember] karena fokus umum pada kualitas mengingat meningkatnya utang rumah tangga dan tantangan bagi usaha kecil dan menengah, di tengah pemulihan ekonomi yang masih lamban dan tidak merata,” kata laporan itu. (ADF)