“Kekhawatiran kita kan dari cadangan nikel, cadangan kita tidak mampu untuk meng-cover keseluruhan konsumsi bahan baku biji nikel domestik. Kita tahu kan akhirnya smelter pada impor nikel dari Filipina beberapa waktu lalu, itu benar,” kata Meidy.
Sementara itu, Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengungkapkan, serangan terhadap hilirisasi mineral adalah upaya perang dagang yang merugikan negara-negara penikmat bijih nikel Indonesia selama ini. Diketahui, larangan ekspor nikel memang membuat peta perdagangan nikel dunia berubah.
Sebagai informasi, pada 2019 tercatat Indonesia mengekspor bijih nikel 30 juta ton. Namun, pada 2020 Indonesia menghentikan ekspor dan kemudian digugat ke WTO oleh Uni Eropa.
“Tetapi ancaman gugatan WTO, tarif Trump, lalu ada Green Deal di Uni Eropa, serta kampanye soal lingkungan jangan sampai mengancam ekonomi Indonesia yang ingin meningkatkan nilai tambah mineral,” kata Redi.