sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Ancaman Krisis Pangan di Tengah Ramalan Resesi, RI Mampu Bertahan?

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
31/10/2022 08:00 WIB
Ancaman penguatan dolar hingga kenaikan suku bunga akan membebani neraca perdagangan jika pemenuhan kebutuhan pangan harus impor di tahun depan.
Ancaman Krisis Pangan di Tengah Ramalan Resesi, RI Mampu Bertahan? (Foto: MNC Media)
Ancaman Krisis Pangan di Tengah Ramalan Resesi, RI Mampu Bertahan? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Isu mengenai krisis pangan menjadi topik perbincangan baru-baru ini. Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan, Indonesia termasuk negara yang sudah bersiap menghadapi ancaman krisis pangan.

Jokowi menyatakan dalam unggahan Instagramnya, RI sudah jauh-jauh hari melakukan sejumlah persiapan untuk menghadapi ancaman krisis pangan di tengah ancaman resesi dan ketidakpastian global.

“Jauh-jauh hari sebelumnya, jalan menuju ketahanan pangan itu sudah kita persiapkan, salah satunya dengan membangun infrastruktur di bidang pertanian, dari bendungan, embung, hingga jaringan irigasi yang mendukung produksi pertanian nasional," tulis presiden RI pada Minggu, (16/10/2022).

Sebelumnya, pada 14 Agustus lalu, Indonesia menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) karena dinilai memiliki ketahanan pangan yang baik dan berhasil dalam swasembada beras pada periode 2019-2021.

Mengutip website RRI, sepanjang 2019 hingga 2021, Indonesia mencapai rasio swasembada 90% dalam produksi beras dan rasio permintaan.

Berdasarkan ketetapan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 1999, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90% dari kebutuhan nasional.

Adapun beras menjadi makanan pokok di Indonesia dengan rata-rata konsumsi beras per kapita 108 kilogram setiap tahun.

Namun, akankah RI tetap kebal dari ancaman krisis pangan di masa depan, mengingat tantangan ekonomi makro yang berkembang saat ini?

Ancaman Trade Shock Terhadap Ketahanan Pangan

Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), kerentanan panganan atau food volatility secara global telah meningkat sejak 2018. IMF memperingatkan ancaman krisis pangan akan menjadi masalah banyak negara di masa depan.

IMF memperkirakan sebanyak 345 juta orang saat ini terpapar dengan kondisi kerawanan pangan akut. menurut World Food Programme, secara global lebih dari 828 juta orang tidur dalam keadaan lapar setiap malam.

Kondisi kerentanan pangan global ini diperparah dengan meletusnya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan rantai pasok global terganggu.

IMF juga menyebut bahwa kerentanan pangan sudah diprediksi sejak sebelum invasi Rusia ke Ukraina. Beberapa faktor yang melatarbelakanginya di antaranya meningkatnya frekuensi dan keparahan guncangan iklim, konflik regional, dan pandemi Covid-19 telah cukup mendisrupsi produksi bahan pangan.

Tak hanya soal produksi dan distribusi, kerentanan pangan juga terlihat dari kenaikan harga bahan pangan yang menyebabkab biaya untuk memberi makan orang dan keluarga juga kian meningkat.

Situasi ini menurut IMF menjadi lebih dramatis dengan adanya perang di Ukraina. Perang telah mendorong harga makanan dan pupuk menjadi lebih mahal. Kondisi ini merugikan importir dan mendorong beberapa negara untuk memberlakukan pembatasan ekspor.

Kondisi ini menyebabkan dunia dalam kerentanan trade shock atau ancaman terganggungya perdagangan dan distribusi pangan.

Dampak food shock juga semakin terasa di mana-mana akibat trade shock. Sebanyak 48 negara yang sangat bergantung pada impor pangan dari Ukraina dan Rusia. Kebanyakan negara-negara ini masuk dalam kategori berpenghasilan rendah dan menderita paling parah.

Sebanyak 48 negara ini harus menambah sekitar USD9 miliar pada anggaran impor pangan dan pupuk mereka di tahun 2022 dan 2023.

Dari jumlah tersebut, sekitar setengahnya sangat rentan karena tantangan ekonomi yang berat hingga institusi negara yang lemah.

IMF dalam publikasinya juga merinci negara berpenghasilan rendah akan menanggung tambahan biaya impor pupuk untuk kebutuhan pertanian dan biji-bijian pangan sebesar USD2,93 miliar di tahun depan.

Sedangkan negara-negara berpendapatan menengah akan menanggung tambahan biaya impor kedua jenis komoditas tersebut sebesar USD1,12 miliar. (Lihat tabel di bawah ini.)

Sumber: IMF

Tingginya harga pangan dan juga energi baru-baru ini juga telah memicu krisis biaya hidup di banyak negara-negara maju. Banyak negara terpaksa menaikkan suku bunga acuan mereka yang membuat inflasi semakin tak terkendali, termasuk inflasi makanan.

Kondisi ini berpotensi meningkatkan kemiskinan dan menghambat pertumbuhan, yang berpotensi memicu ketidakstabilan politik.

Krisis Iklim Memperburuk Keadaan

Salah satu tantangan yang tak bisa secara instan diatasi manusia adalah perubahan iklim. Ancaman ini kian nyata menghantui para petani di banyak negara.

Telah banyak studi menemukan perubahan iklim mengurangi produktivitas tanaman petani.

Banyak petani secara global melaporkan bahwa cuaca yang semakin tidak terduga mengancam hasil panen.

Mengutip nature.com, perubahan iklim telah mengurangi produktivitas pertanian global sebesar 21% sejak tahun 1961. Bahkan, di daerah yang lebih hangat seperti Afrika dan Amerika Latin, produktivitas turun 26% hingga 34%.

Pada 2019, studi yang dilakukan University of Minnesota terhadap 10 tanaman global menemukan bahwa perubahan iklim mengurangi produksi bahan pokok penting seperti beras dan gandum. Kondisi ini terutama akan berdampak pada negara-negara berkembang.

Sebuah studi yang diterbitkan oleh Nature Climate Change, menemukan bahwa kondisi iklim yang lebih hangat dan lebih kering di Brasil mengubah produktivitas pertanian salah satu penghasil komoditas pangan terbesar di dunia.

Brasil Tengah memimpin dunia dalam produksi tanaman pokok utama termasuk kedelai dan jagung. Namun, berbagai sumber makanan pokok tersebut bergantung pada iklim yang stabil.

Studi yang dipimpin oleh Dr. Ludmila Rattis, Asisten Ilmuwan di Woodwell Climate, menemukan perubahan curah hujan dan suhu di sepanjang perbatasan Cerrado-Amazon Brasil, sebagai wilayah penghasil setengah dari hasil pertanian negara tersebut berdampak signifikan pada hasil panen.

Hasil penelitian Dr Rattis menunjukkan sebanyak 28% lahan pertanian tidak lagi produktif akibat perubahan iklim. Persentase tersebut bahkan diperkirakan meningkat hingga 74% pada 2060 karena wilayah tersebut akan semakin panas dan kering.

Bagaimana Nasib Indonesia?

Pemerintah selama ini juga telah menggelontorkan berbagai program untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Salah satunya melalui proyek food estate.

Mengutip website resmi setkab, pemerintah telah menyiapkan rencana antisipasi dalam RPJMN Tahun 2020-2024, termasuk Program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate).

Program ini bertumpu pada pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan.

Program kebijakan ini masuk dalam salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.

Teranyar, pemerintah akan mengatur terkait pengadaan, pengelolaan dan penyaluran 11 bahan pangan pokok demi mengantisipasi krisis pangan, lonjakan harga dan masalah lainnya.

Penguasaan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah.

Dalam APBN 2023, pemerintah juga mengalokasikan Rp95 triliun dalam mendukung ketahanan pangan nasional.

Lewat anggaran ketahanan pangan ini, pemerintah berupaya mendorong pemanfaatan teknologi dan data, serta pengembangan iklim investasi, perkuatan sistem logistik pangan nasional, dan transformasi sistem pangan yang berkelanjutan.

Menyoal ketahanan pangan, Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar produk pertaniannya adalah padi dan jagung. Namun, Indonesia tidak serta merta bisa lolos begitu saja dari ancaman krisis pangan di masa depan.

Pada 2022, produksi padi RI mencapai 55,6 juta ton di lahan seluas 10,6 juta hektar. Sementara angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 54,4 juta ton di lahan seluas 10,4 juta hektar. Pada tahun yang sama, produktivitas padi juga mencapai 52,26 kuintal per hektar (ku/ha). (Lihat grafik di bawah ini)

 

Adapun rata-rata produktivitas jagung secara nasional 54,74 ku/ha pada 2020. Sementara rata-rata produktivitas kedelai mencapai 15,69 ku/ha di tahun yang sama.

BPS pada awal April 2022 menyebut produksi beras Indonesia pada empat bulan pertama 2022 mencapai 25,4 juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlah ini setara dengan 14,63 juta ton beras.

Hasil ini menyumbang kenaikan 7,7% dibanding tahun sebelumnya. Prediksi itu berdasar pada luas area tanam dan laporan tingkat risiko yang ada.

Sementara itu, realisasi panenan Januari hingga April 2022 ini telah menyumbang 48% dari konsumsi. Prediksi BPS, kekurangan 16 juta ton beras untuk konsumsi nasional disebut sulit dipenuhi dari produksi hingga akhir tahun ini.

Di sisi tenaga kerja, Indonesia juga termasuk salah satu negara dengan jumlah pekerja di sektor pertanian terbesar. Pada 2022, presentase penduduk bekerja di sektor pertanian mencapai 31,23% untuk laki-laki dan 28,01% untuk perempuan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).

Jika merujuk pada jumlah, petani di Indonesia data BPS menunjukkan, jumlah petani per 2019 mencapai 33,4 juta orang. Tahun berikutnya, jumlah ini turun menjadi 33,3 juta orang. Angka ini terus menurun sejak 2017 di mana jumlahnya masih mencapai 39,7 juta.

Sayangnya, Indonesia masih saja menjadi tamu di rumah sendiri. Beberapa komoditas pangan Indonesia masih diperoleh dari impor untuk memenuhi kebutuhan domestik. Menurut data BPS, kedelai menjadi komoditas pangan dengan volume impor terbesar.

BPS mencatat, volume impor kedelai mencapai 2,49 juta ton senilai USD1,48 miliar pada 2021. Impor terbesar berasal dari Amerika Serikat mencapai 2,15 juta ton atau sebesar 86,46% dari total impor. (Lihat grafik di bawah ini)

Beras juga menjadi salah satu komoditas dengan kran impor paling kencang dan sempat menimbulkan polemik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga kuartal 4 tahun 2021, impor beras Indonesia mencapai 114,45 ribu ton dengan total nilai  USD51,76. Nilai tersebut meningkat 24,4% dibading kuartal sebelumnya yang mencapai 92 ribu ton dengan nilai USD40,38 juta.

Secara total, Indonesia mengimpor 407.741 ton beras pada 2021. Nilai ini naik dari 356.286 ton pada 2020. (Lihat grafik di bawah ini.)

Badan Pangan Nasional (Bapanas) dalam pernyataannya pada Selasa  (25/10) melaporkan stok ketersediaan bahan pangan RI mulai menipis dan berisiko menimbulkan kerawanan pangan.

Berdasarkan proyeksi Bapanas, stok beras Tanah Air hanya akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat untuk 88 hari, jagung 52 hari, dan kedelai hanya 7 hari.

Namun, jika pemenuhan kebutuhan pangan harus terancam impor di tahun depan, hal ini bisa berdampak bagi perekonomian RI.

Melemahnya Rupiah terhadap dolar AS serta kenaikan suku bunga yang tinggi terjadi di banyak negara menyebabkan ancaman trade shock kian nyata di tahun depan.

Belum lagi kisah gagal panen yang dialami oleh sejumlah petani akibat curah hujan yang cukup tinggi sepanjang tahun 2021 hingga saat ini.

Di Aceh Utara, luas areal persawahan yang terdampak banjir seluas 6.776 hektare yang tersebar dalam 18 kecamatan dan menyebabkan gagal panen.

Menurut Kadis Pertanian dan Perkebunan Aceh, Cut Huzaimah, luas areal sawah yang gagal panen seluas 3.611 hektare terdiri dari pertanaman seluas 2.085 hektare dan persemaian 1.526 hektare, pada Senin (24/10/2022).

Sejumlah wilayah di Tanah Air juga mencatatkan kisah serupa. Mengutip Okezone pada Selasa (11/10), petani cabai merah di Pedukuhan Dobangsan, Kulon Progo, gagal panen.

Gagal panen menyusul tingginya curah hujan hingga lahan 30 hektare terendam. Banjir merendam tanaman cabai yang sedang berbuah. 

Petani sudah mencoba menyedot air dengan pompa namun tidak berhasil. Hujan yang terus turun membuat lahan kembali tergenang.

Ini adalah tantangan nyata dampak dari perubahan iklim bagi Indonesia di sektor ketahanan pangan. Ancaman krisis pangan tidak bisa hanya diselesaikan dengan mengaturnya dalam kebijakan formal.

Perlu ada langkah nyata untuk mendorong kemandirian produksi pangan nasional. Hal ini bertujuan agar gangguan semacam trade shock dan melambungnya impor pangan tidak akan menjadi beban Indonesia di masa depan. (ADF)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement