sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Angka Kemiskinan Dinilai Tak Sesuai Realitas, Bisa Berdampak Pada Kebijakan Bansos

Economics editor Tangguh Yudha
27/07/2025 12:15 WIB
Angka kemiskinan yang diterbitkan BPS dinilai kurang valid dan bisa berdampak pada kebijakan pemerintah, terutama bansos.
Angka Kemiskinan Dinilai Tak Sesuai Realitas, Bisa Berdampak Pada Kebijakan Bansos. (Foto: Inews Media Group)
Angka Kemiskinan Dinilai Tak Sesuai Realitas, Bisa Berdampak Pada Kebijakan Bansos. (Foto: Inews Media Group)

Lebih jauh, Bhima menilai reformasi metodologi pengukuran kemiskinan nasional perlu dilakukan. Menurutnya, negara-negara seperti Malaysia dan Uni Eropa telah secara berkala menyesuaikan metodenya seiring dengan perkembangan sosial ekonomi.

Indonesia, kata Bhima harus mengikuti langkah serupa. Kendati demikian, perubahan ini membutuhkan keberanian politik.

Bhima mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang menetapkan pendekatan baru dalam memaknai kemiskinan secara lintas sektoral. Perpres ini nantinya akan menjadi dasar bagi integrasi data, sinkronisasi indikator, dan penyesuaian seluruh program pengentasan kemiskinan ke depan.

Namun, langkah tersebut hanya mungkin dilakukan jika data kemiskinan tidak lagi dipolitisasi. Selama angka kemiskinan hanya digunakan untuk kepentingan pencitraan atau legitimasi politik, maka reformasi metodologi hanya akan menjadi retorika.

Sebagai alternatif, Bhima mengusulkan agar ukuran kesejahteraan tidak lagi berbasis total pengeluaran, tetapi pada pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income), yakni pendapatan bersih yang tersedia setelah dikurangi kewajiban pokok seperti pajak dan kebutuhan dasar.

Pendapatan disposabel mencerminkan kondisi akhir setelah negara menjalankan peran redistributifnya, baik melalui pungutan maupun transfer sosial.

"Dengan membandingkan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi fiskal, kita dapat menilai seberapa efektif kebijakan negara dalam memperbaiki kehidupan masyarakat, sehingga kita tahu mana program yang harus dilanjutkan, mana yang harus dihentikan," kata Bhima.

Pada saat yang sama, indikator kesejahteraan masyarakat lainnya juga harus dilihat secara bersamaan dalam satu paket evaluasi pembangunan, seperti akses terhadap pendidikan, perumahan dan kesehatan, upah yang layak, jaminan hari tua, angka pengangguran dan PHK, hingga, tingkat kejahatan dan korupsi.

Saat ini pemerintah hanya memilih data-data yang positif, dengan landasan metodologi yang lemah dan pada saat yang sama mengabaikan indikator penting lainnya.

"Kita lebih baik menggunakan data dengan benar untuk melihat fakta yang ada, ketimbang memoles data hanya untuk kepentingan pencitraan, yang ujung-ujungnya malah membingungkan perencanaan kebijakan ke depannya. Kemiskinan bukan aib, tapi masalah sosial yang harus diselesaikan," kata dia.

(Febrina Ratna Iskana)

Halaman : 1 2 3 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement