sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Angka Kemiskinan Dinilai Tak Sesuai Realitas, Bisa Berdampak Pada Kebijakan Bansos

Economics editor Tangguh Yudha
27/07/2025 12:15 WIB
Angka kemiskinan yang diterbitkan BPS dinilai kurang valid dan bisa berdampak pada kebijakan pemerintah, terutama bansos.
Angka Kemiskinan Dinilai Tak Sesuai Realitas, Bisa Berdampak Pada Kebijakan Bansos. (Foto: Inews Media Group)
Angka Kemiskinan Dinilai Tak Sesuai Realitas, Bisa Berdampak Pada Kebijakan Bansos. (Foto: Inews Media Group)

IDXChannel - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai angka kemiskinan yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) kurang valid. Menurutnya, hal itu bisa berdampak pada kebijakan pemerintah, terutama terkait bantuan sosial (bansos).

Seperti diketahui, BPS baru saja merilis data jumlah penduduk miskin per Maret 2025 mencapai 8,47 persen dari total populasi Indonesia, atau sekitar 23,8 juta jiwa, turun 0,1 persen poin dibandingkan September 2024.

Namun Bhima meyakini bahwa penduduk miskin yang aktual di lapangan, jauh lebih banyak dari angka kemiskinan pemerintah.

Menurut dia, selama ini terdapat kesenjangan yang mencolok antara data kemiskinan resmi milik pemerintah Indonesia dan data yang dirilis lembaga internasional. Berdasarkan laporan terbaru World Bank, sekitar 68,2 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional, atau setara dengan 194,4 juta jiwa.

Bhima menilai angka ini sangat berbeda dengan data resmi BPS yang mencatat hanya 8,57 persen atau 24,06 juta orang yang dikategorikan miskin. Meski metodologi keduanya berbeda, disparitas sebesar 8 kali lipat ini menunjukkan ada masalah dalam cara mendefinisikan kemiskinan.

Terlabih lagi, menurut Bhima, BPS sudah hampir lima dekade menggunakan pendekatan pengukuran kemiskinan dengan berbasiskan pengeluaran serta item-item yang tidak banyak berubah dan tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi.

“Angka kemiskinan selama menggunakan metode garis kemiskinan yang lama tidak akan menjawab realita di lapangan. Jadi BPS kalau masih keluarkan angka kemiskinan tanpa revisi garis kemiskinan sama saja datanya kurang valid.” katanya sebagaimana dikutip dari pernyataan resminya pada Minggu (27/7/2025).

Bhima mengungkapkan masalah fundamental data kemiskinan berdampak pada pengambilan kebijakan pemerintah. Sebagai contoh klaim pemerintah terkait keberhasilan perlindungan sosial, program pertanian, MBG, dan hilirisasi tidak sepenuhnya tercermin dari data BPS.

Ia menambahkan akibat data BPS tidak bisa jadi acuan program bantuan sosial karena masalah keakuratan data membuat pemerintah mengeluarkan anggaran lebih besar untuk identifikasi penerima manfaat.

"Seharusnya data BPS bisa dipakai untuk program pengentasan kemiskinan, tapi pemerintah harus mencari data sendiri by name by address untuk memetakan orang miskin menurut kriteria yang beda dengan BPS” ungkap Bhima.

Lebih jauh, Bhima menilai reformasi metodologi pengukuran kemiskinan nasional perlu dilakukan. Menurutnya, negara-negara seperti Malaysia dan Uni Eropa telah secara berkala menyesuaikan metodenya seiring dengan perkembangan sosial ekonomi.

Indonesia, kata Bhima harus mengikuti langkah serupa. Kendati demikian, perubahan ini membutuhkan keberanian politik.

Bhima mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang menetapkan pendekatan baru dalam memaknai kemiskinan secara lintas sektoral. Perpres ini nantinya akan menjadi dasar bagi integrasi data, sinkronisasi indikator, dan penyesuaian seluruh program pengentasan kemiskinan ke depan.

Namun, langkah tersebut hanya mungkin dilakukan jika data kemiskinan tidak lagi dipolitisasi. Selama angka kemiskinan hanya digunakan untuk kepentingan pencitraan atau legitimasi politik, maka reformasi metodologi hanya akan menjadi retorika.

Sebagai alternatif, Bhima mengusulkan agar ukuran kesejahteraan tidak lagi berbasis total pengeluaran, tetapi pada pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income), yakni pendapatan bersih yang tersedia setelah dikurangi kewajiban pokok seperti pajak dan kebutuhan dasar.

Pendapatan disposabel mencerminkan kondisi akhir setelah negara menjalankan peran redistributifnya, baik melalui pungutan maupun transfer sosial.

"Dengan membandingkan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi fiskal, kita dapat menilai seberapa efektif kebijakan negara dalam memperbaiki kehidupan masyarakat, sehingga kita tahu mana program yang harus dilanjutkan, mana yang harus dihentikan," kata Bhima.

Pada saat yang sama, indikator kesejahteraan masyarakat lainnya juga harus dilihat secara bersamaan dalam satu paket evaluasi pembangunan, seperti akses terhadap pendidikan, perumahan dan kesehatan, upah yang layak, jaminan hari tua, angka pengangguran dan PHK, hingga, tingkat kejahatan dan korupsi.

Saat ini pemerintah hanya memilih data-data yang positif, dengan landasan metodologi yang lemah dan pada saat yang sama mengabaikan indikator penting lainnya.

"Kita lebih baik menggunakan data dengan benar untuk melihat fakta yang ada, ketimbang memoles data hanya untuk kepentingan pencitraan, yang ujung-ujungnya malah membingungkan perencanaan kebijakan ke depannya. Kemiskinan bukan aib, tapi masalah sosial yang harus diselesaikan," kata dia.

(Febrina Ratna Iskana)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement