“Australia sudah tanda tangan namun menarik diri ya kan belum lagi negara lain yang mayoritas belum mau melakukan ini, disini kita harus mengambil posisi itu gimana,” katanya.
Terlebih lagi menurut Hariyadi Indonesia harus memperhatikan tiga hal penting terkait wacana pajak karbon.
Pertama, Indonesia harus lebih cerdas melihat posisi kepentingan nasional soal pajak karbon. Kedua dari sisi kesiapan melihat bauran energi yang dilakukan rencananya oleh Kementerian ESDM sampai 2045 adalah 70% pembangkit listrik masih dengan batu bara.
“Ketiga dari tarif, tarifnya itu adalah yang kita gak tau asal usul perhitungannya bagaimana, itu adalah Rp75.000 per ton karbon, nah sama dengan kita membahas pajak retribusi daerah tarifnya 5% dari total biaya, itu juga gajelas kajian akademiknya bagaimana, jadi kalau kami melihat setelah rapat asosiasi sektor dan mayoritas itu semuanya ga ada yang setuju,” jelas Hariyadi.
Koordinasi APINDO dan pemerintah terus dijalankan. Rencananya pelaku usaha akan melakukan pembahasan pada pekan dengan Direktorat Jenderal Pajak untuk membahas wacana tersebut.