sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Berlaku Besok, Berkah atau Musibah?

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
31/07/2023 15:44 WIB
Aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) akan diberlakukan esok hari, Selasa (1/8/2023)
Aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Berlaku Besok, Berkah atau Musibah? (Foto: MNC Media)
Aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Berlaku Besok, Berkah atau Musibah? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) akan diberlakukan esok hari, Selasa (1/8/2023) Pemerintah bakal menerapkan sanksi berupa penangguhan ekspor bagi eksportir yang tidak melakukan kewajiban penempatan DHE.

Aturan tentang DHE tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.36/2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan dan/atau pengolahan Sumber Daya Alam (SDA). Beleid tersebut ditekan pada 12 Juli 2023 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa sanksi administratif tersebut berupa penundaan ekspor alias pemberhentian sementara kegiatan ekspor tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 73/2023.

Sejumlah pro kontra mewarnai penerbitan aturan tersebut. Mulai dari potensi keuntungan buat negara hingga pengusaha yang menjerit karena potensi kerugian yang akan ditanggung.

Potensi Pendapatan Negara

Sejumlah pihak mendukung adanya aturan DHE. Di antaranya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang melihat dampak positif dari peraturan ini.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar mengatakan, implementasi peraturan tersebut akan membantu peningkatan likuiditas valuta asing (valas) di dalam negeri.

Selain itu, aturan DHE juga akan mendorong aktivitas dan produk berbasis valas maupun kegiatan lainnya apabila dikonversi. Serta memperkuat dan mendorong pendalaman jasa keuangan yang ada.

“Dan pada gilirannya perkuatan perekonomian Indonesia,” kata Mahendra dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat (28/7/2023).

Sekadar informasi, pemerintah mewajibkan penerapan DHE sebesar 30 persen ditempatkan ke dalam sistem keuangan Indonesia minimal tiga bulan.

Penempatan DHE SDA dalam rekening khusus diwajibkan terhadap eksportir yang memiliki DHE SDA dengan nilai ekspor pada PPE paling sedikit USD250 ribu atau ekuivalen.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko) Airlangga Hartarto juga sempat mengatakan potensi optimalisasi DHE cukup besar.

Berdasarkan data Kemenko Perekonomian, DHE dari 4 sektor wajib yakni pertambangan, perkebunan, kehutanan, perikanan totalnya mencapai USD203 miliar setahun atau sebesar 69,5 persen dari total ekspor pada 2022.

“Dengan adanya ketentuan 30 persen DHE SDA wajib disimpan di sistem keuangan Indonesia (SKI). Maka setidaknya terdapat potensi ketersediaan likuiditas valas dalam negeri (hasil dari penempatan DHE SDA) sebesar USD60,9 miliar,” terang Menko Airlangga.

Menko Airlangga juga merinci potensi DHE SDA per sektor berdasarkan nilai ekspor 2022. Sektor pertambangan berpotensi menyumbang sebesar USD 129,0 miliar atau 44,2 persen dari total ekspor. Adapun komoditas pertambangan terbesar ekspornya adalah batu bara dengan nilai DHE sebesar USD46,7 miliar atau 36,2 persen dari total ekspor pertambangan.

Sektor perkebunan memiliki potensi sekitar USD55,2 miliar atau 18,9 persen dari total ekspor. Sementara sektor mehutanan berpotensi menyumbang sekitar USD11,9 miliar dan sektor perikanan berpotensi menyumbang sekitar USD 6,9 miliar.

Pro Kontra

Merespons aturan ini, pengusaha nampaknya belum bisa menerima secara terbuka aturan ini.

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai aturan tersebut akan menyulitkan eksportir dalam mengelola arus kas (cash flow). Terlebih margin yang didapatkan oleh para eksportir tidak mencapai 30 persen.

Maka dengan demikian modal kerja yang sudah dikeluarkan eksportir pun akan tertahan di tengah tren penurunan harga serta semakin meningkatnya beban biaya operasional.

Adapun hingga Mei, bahan bakar mineral masih menjadi penopang utama dengan nilai ekspor tertinggi mencapai USD5,13 miliar. Di urutan ke dua dan ke tiga, ada besi dan baja serta minyak hewani/nabati dengan nilai ekspor masing-masing USD2,03 miliar dan USD1,91 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Per Juni 2023, nilai ekspor Indonesia Juni 2023 mencapai USD20,61 miliar atau turun 5,08 persen dibanding ekspor Mei 2023. Adapun secara tahunan, nilai ekspor turun sebesar 21,18 persen.

Adapun ekspor nonmigas Juni 2023 mencapai USD19,34 miliar atau turun 5,17 persen dibanding Mei 2023, dan turun 21,33 persen jika dibanding ekspor nonmigas Juni 2022.

Penurunan terbesar ekspor nonmigas Juni 2023 ini terjadi pada komoditas bahan bakar mineral sebesar USD441,3 juta atau 11,54 persen. Sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada lemak dan minyak hewani/nabati sebesar USD834,9 juta atau meningkat 43,68 persen.

Menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari–Juni 2023 turun 10,19 persen dibanding periode yang sama 2022.

Demikian juga ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan turun 3,41 persen dan ekspor hasil pertambangan dan lainnya turun 6,72 persen.

Penurunan lanjutan komoditas utama ekspor Indonesia ini yang menjadi alasan pengusaha untuk keberatan dengan aturan DHE.

Dari sudut pandang pengusaha batu bara, APBI mencatat, sejak semester II 2022 tren harga batu bara mengalami penurunan yang tajam sementara disisi lain biaya operasional semakin meningkat.

Biaya operasional penambang batu bara di tahun 2023 diperkirakan meningkat rata-rata 20-25 persen akibat kenaikan biaya bahan bakar, stripping ratio yang semakin besar sehingga biaya penambangan semakin tinggi, hingga pengaruh inflasi.

Selain itu, kenaikan beban biaya penambang juga semakin berat dengan telah dinaikkannya tarif royalti. Tarif royalti pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik dari rentang tarif 3-7 persen menjadi 5-13 persen yang diatur dalam PP No. 26 Tahun 2022 yang berlaku Agustus 2022 yang lalu.

Sementara bagi pemegang IUPK-Kelanjutan Operasi Produksi (PKP2B), tarif royalti tertinggi mencapai 28 persen yang diatur dalam PP No. 15 Tahun 2022.

Selain itu, perusahaan eksportir batu bara juga tidak dapat memaksimalkan keuntungan dari kenaikan harga komoditas dalam 2 tahun terakhir ini akibat masih lebarnya gap/disparitas antara Harga Batubara Acuan (HBA) dengan harga jual aktual.

Sampai saat ini sejak awal 2022, lebarnya gap antara HBA dan harga jual aktual menyebabkan perusahaan membayar kewajiban pembayaran royalti menjadi jauh lebih besar.

Dengan beban semakin tinggi sementara tren harga terus turun maka profit margin semakin tergerus jauh di bawah 30 persen sehingga berpengaruh terhadap modal usaha.

Kondisi tersebut yang dianggap oleh para pengusaha batu bara menambah beban eksportir yang dituntut untuk mematuhi aturan DHE. (ADF)

Halaman : 1 2
Berita Rekomendasi

Berita Terkait
Advertisement
Advertisement