"Untuk membangun satu line, itu butuh investasi USD200-250 juta, perbankan kita, tidak membiayai smelter, andaikan mereka membiayai equity-nya itu 30-40%, dari mana anak-anak (Indonesia) punya smelter," sambung Bahlil.
Sedangkan ekuitas yang diberikan oleh perbankan asing hanya sekitar 10% dengan bunga yang juga kecil. Hal itulah yang menyebabkan kenapa hilirisasi di Indonesia mayoritas diambil asing.
"Terus kita ribut, kenapa asing semua yang ambil bahan baku kita, Bos, mereka yang melakukan investasi , kita punya diuit tapi kita bikin stand by loan (SBL) untuk kredit konsumsi, bukan produktif," tegas Bahlil di hadapan anggota dewan.
"Ini masalah besar, saya sudah ngomong berkali-kali, selama ini tidak kita ubah, sampai ayam tumbuh gigi, kita tidak akan punya smelter di republik ini," pungkasnya.
(FRI)