Apalagi pihak yang mengajukan petisi anti dumping hanya diwakili oleh tiga perusahaan di bawah Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) yakni PT Jui Shin Indonesia, PT Satyaraya Keramindoindah, dan PT Angsa Daya. Ketiganya beralasan geliat industri keramik sedikit melambat akibat kerasnya persaingan di pasar.
“Saat penyampaian Petisi Anti Dumping Ubin Keramik, yang melakukan hanya 26 persen dari total produsen dalam negeri, yang artinya 74 persen lainnya tidak terpengaruh dengan import,” kata Antonius.
Di sisi lain, kebutuhan terhadap keramik khusus seperti ubin porcelain sangat besar, dengan kapasitas produksi maksimum yaitu kurang lebih 70 Juta M2, sedangkan kebutuhan dalam negeri per tahun mencapai 150 Juta m2. Artinya terdapat selisih sebesar kurang lebih 80 juta m2 yang dipenuhi melalui impor.
“Adanya selisih antara kebutuhan pasar domestik dengan kemampuan produksi produsen keramik dalam negeri mengakibatkan impor menjadi satu-satunya solusi yang logis oleh importir legal yang melakukan impor dengan membayar Pajak Bea Masuk, yang sudah dikenakan Lartas SNI, Surveyor SGS, Safeguard Tax (BMTP), PPh dan PPn Impor,” ujarnya.
(FRI)