Hal tersebut dikarenakan konsumsi rumah tangga merupakan salah satu penggerak utama perekonomian nasional. Sedangkan secara sektor, kenaikan TDL diestimasikan akan berdampak negatif terhadap output industri, dan daya saing produk yang dihasilkan di dalam negeri sekaligus membebani konsumen.
“Dengan situasi seperti ini, bila benar kebijakan tersebut akan diterapkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), ini akan menjadi pukulan dan beban yang sangat berat bagi industri makanan dan minuman. Selama ini, biaya listrik bagi Industri di Indonesia terutama bagi industri makanan dan minuman berkontribusi sekitar 3% dari Harga Pokok Produksi (HPP)," terang Adhi.
Bila PLN berencana untuk menaikkan 20% maka, biaya produksi untuk Industri Makanan dan Minuman akan naik sekitar 0.6%.
“Kenaikan biaya produksi ini mau tidak tidak mau akan berpengaruh pada harga produk yang akan meningkat, dimana produk makanan minuman sangat sensitive terhadap harga. Pada akhirnya biaya ini akan menjadi beban dari masyarakat umum, yang saat ini masih terkena imbas dari pandemi Covid-19 dimana daya beli dan kemampuan ekonomi masih tidak lebih baik”, tambah Adhi.
Juga kenaikan TDL akan berpengaruh terhadap rantai pasok keseluruhan, sehingga pemasok juga akan mengalami biaya produksi (seperti industri kemasan, plastik, kaleng, gelas, dll yang mana industry ini lebih banyak mengonsumsi listrik PLN).