"Dulu, pemerintah dan DPR pernah meliberalisasi gas yang pada akhirnya hanya menyebabkan BUMN pengelola gas mencatatkan kerugian di berbagai lini operasi," ungkap Deendarlianto.
Seyogyanya, saran Deendarlianto, dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan terdapat jaminan ketersediaan energi listrik yang andal, cukup, berkualitas, dan ekonomis menjadi prasyarat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, penciptaan lapangan kerja produktif, memperkuat industri, dan menciptakan sektor bisnis yang sehat.
"Dan sampai saat ini, negara melalui badan usahanya telah membuktikan pemenuhan pasokan listrik tersebut. Lalu, kenapa pemerintah harus membuka peluang kepada swasta untuk menjadi penyedia listrik? Pertanyaan itu seharusnya cukup untuk meniadakan klausul power wheeling dalam agenda RUU EBET," papar Deendarlianto.
Dengan memaksakan pengaturan tentang power wheeling, maka Deendarlianto menilai hanya akan menambah persoalan pada ketenagalistrikan nasional.
"Kecuali jika negara tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik nasional, maka power wheeling bisa jadi bahan pertimbangan," tegas Deendarlianto. (TSA)