Gangguan ekonomi global akibat perang Rusia-Ukraina, hingga aksi hawkish The Fed juga sangat berpengaruh terhadap gelombang inflasi di negara-negara dunia, tak terkecuali Indonesia. (Lihat grafik di bawah ini.)
Isu yang saat ini berkembang luas adalah target inflasi di beberapa negara yang disebut terlalu rendah jika merujuk pada kondisi makroekonomi saat ini.
Menurut Veronika Dolar, Asisten Profesor Ekonomi, SUNY Old Westbury mengutip Fortune.com menjelaskan, sejak tahun 1996, para pembuat kebijakan Fed secara umum menargetkan tingkat inflasi sekitar 2%.
Baru-baru ini muncul pemahaman bahwa masalahnya bukanlah pada inflasi yang terlalu tinggi, melainkan terlalu rendah.
Kondisi ini sempat mendorong Powell pada 2020, ketika inflasi terkendali tidak lebih dari 1%, menyebut ini sebagai penyebab kekhawatiran dan mengatakan The Fed akan membiarkannya naik di atas 2%.
Perubahan konsensus juga tengah digodok oleh pemerintah Jepang dengan Bank of Japan (BoJ) di mana kemungkinan target inflasi 2% juga akan direvisi.
Menurut Dolar, inflasi yang terus-menerus atau terlalu rendah dapat menimbulkan risiko serius bagi perekonomian. Risiko ini di antaranya memicu spiral deflasi.
Risiko Deflasi
Ketika ekonomi menyusut selama resesi dengan penurunan produk domestik bruto (PDB), permintaan agregat untuk semua barang yang dihasilkannya juga turun.
Akibatnya, harga tidak lagi naik dan bahkan mungkin mulai turun atau suatu kondisi yang disebut deflasi.
Secara sederhana, deflasi adalah kebalikan dari inflasi. Alih-alih harga naik seiring waktu, namun mereka malah jatuh.
Menurut Dolar, pada awalnya, penurunan dan harga yang lebih rendah tampaknya merupakan hal yang baik. Tetapi deflasi sebenarnya bisa sangat merusak perekonomian.
Ketika sedang ada penawaran diskon besar-besaran tetapi berlangsung cukup lama, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan mereka dapat membeli barang dengan harga lebih murah di kemudian hari.
Misalnya, orang berpikir untuk membeli mobil baru yang saat ini berharga USD60.000. Namun, selama periode deflasi orang akan menunggu sebulan lagi, untuk mendapat harga mobil USD55.000.
Akibatnya, orang tidak jadi membeli mobil hari ini, jika bisa menunggu sebulan lagi dan membeli mobil dengan harga lebih murah bulan depan. Kondisi ini ditakutkan akan terjadi terus menerus.
Pengeluaran yang lebih rendah ini dampaknya menyebabkan lebih sedikit pendapatan bagi produsen, yang dapat menyebabkan pengangguran.
Selain itu, bisnis juga menunda pengeluaran karena mereka memperkirakan harga akan turun lebih jauh.
Kondisi ini yang riskan akan menyebabkan spiral deflasi yang berisiko menghasilkan pengangguran yang lebih tinggi, bahkan harga yang lebih rendah, dan bahkan pengeluaran yang lebih sedikit.
Singkatnya, deflasi menyebabkan lebih banyak deflasi. Sepanjang sebagian besar sejarah AS, periode deflasi biasanya berjalan seiring dengan kemerosotan ekonomi. (ADF)