Persoalan itu tidak saja terjadi di internal Kementerian BUMN selaku pemegang saham, namun menjalar ke tingkat bawah yakni perusahaan pelat merah. "Masalah di BUMN sudah saya investigasi sejak awal yakni besar, tambun, namun lambat, atau dalam bahasa akademik tidak memiliki pondasi fisik yang diperlukan untuk dapat bergerak lincah, reaktif, dan adaptif," ucap dia.
Perkara tersebut membuat bisnis BUMN cenderung stagnan atau tidak mengalami transformasi. Dari hasil identifikasi ditemukan bahwa Kementerian BUMN cenderung birokratis, BUMN terlalu besar dari segi jumlah sehingga membuat perusahaan tidak fokus, lalu tidak adanya satu nilai atau sistem yang mengikat.
"Saya mengidentifikasikan ada tiga masalah utama di BUMN yakni organisasi, Kementerian (BUMN) yang cenderung birokratis, organisasi BUMN terlalu besar dan tidak fokus, serata tidak adanya satu nilai yang mengikat," katanya.
Usai mengungkapkan biang kerok stagnasi bisnis perseroan pelat merah, Erick menjelaskan program utama yang disebut sebagai transformasi BUMN. Untuk bisa merealisasikannya, dia menggunakan pendekatan operations strategy sebagai satu strategi untuk mengeksekusi program tersebut.
(FRI)