Disinggung soal maraknya isu gelombang PHK di tingkat nasional, Rachmat menjelaskan bahwa isu tersebut mencuat seiring rencana pengurangan ekspor. Namun, dia menegaskan bahwa Jabar sudah bekerja sama dengan The International Labor Organization (ILO) Indonesia untuk jaminan buruh.
"Ada 27 perusahaan yang dikerjasamakan dan dilindungi oleh ILO, kalau tidak salah sekitar 60.000-an pekerja. Perusahaan yang terkendala ada pengurangan jam kerja sehingga perusahaan masih bertahan sampai sekarang," terangnya.
Meski begitu, Rachmat juga mengakui bahwa ada beberapa perusahaan di Jabar yang tutup. Namun, kata Rachmat, pihaknya tak bisa ikut campur terlalu dalam dalam persoalan antara perusahaan dan pekerjanya itu. Dia hanya berharap, ada penyelesaian yang adil antara pekerja dan perusahaan.
"Ada beberapa yang (tutup) seperti di Subang. Sebagian besar masih bertahan dan kita harap yang penting kita negosiasikan antara pekerja dengan manajemen (perusahaan)," tandasnya.
Ketua Umum DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar, Roy Jinto Ferianto mengungkapkan bahwa isu PHK massal yang belakangan marak disuarakan berpotensi menjadi desakan bagi pemerintah untuk tidak menaikkan upah buruh pada 2023.
"Ini sengaja memang terus disuarakan (pengusaha) dan disampaikan ke media karena menjelang penetapan upah minimum tahun 2023. UMP akan ditetapkan 21 November dan UMK ditetapkan 30 November 2022," ungkap Roy, Rabu (9/11/2022).
Bahkan, kata Roy, akal-akalan pengusaha tersebut selalu terulang dalam beberapa tahun ke belakang. Karenanya, pihaknya yakin isu PHK massal dan banyaknya perusahaan yang tutup merupakan cara pengusaha menekan pemerintah agar tidak menaikkan upah buruh.
"Pemberitaan ini bukan hanya terjadi baru-baru ini, tapi setiap tahun menjelang penetapan upah minimum, selalu ada pemberitaan yang mengatakan akan terjadi PHK dan lainnya," bebernya. (NIA)