“Kami sedang menjangkau pemain hub utama,” katanya.
Jumlah utang yang harus bisa dipangkas agar bisa bertahan setidaknya berada di kisaran 70-80%, katanya. Laporan keuangan terbaru perusahaan menunjukkan Garuda memiliki ekuitas negatif sebesar USD2,8 miliar pada akhir Juni.
Garuda merupakan satu dari serangkaian maskapai global berantakan akibat pandemi. Bahkan, AirAsia Group Bhd melakukan negosiasi dengan membuka penawaran kepada kreditur hanya membayar 0,5% dari lebih dari usd8 miliar total utang yang mereka miliki, sekaligus mengakhiri semua kontrak yang ada.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Philippine Airlines Inc, yang telah mengajukan kebangkrutan Bab 11 di New York pada September. Di luar Asia Tenggara, Latam Airlines dari Chili, Aeromexico dan Avianca Holdings Kolombia mencari perlindungan pengadilan pada 2020.
Wirjoatmodjo yang juga merupakan seorang bankir sudah terbiasa berurusan dengan restrukturisasi utang, tetapi situasi yang terjadi pada Garuda lebih sulit karena faktor-faktor termasuk pandemi, volatilitas nilai tukar, dan sensitivitas harga minyak.
Dalam skenario terburuk pemerintah, Garuda akan meminta perlindungan pengadilan jika semua negosiasi gagal, menurut Wirjoatmodjo.
“Saya akan menempatkan tantangan Garuda di 9,5 pada skala 1 hingga 10,” katanya. (TYO)