sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Catat Warga! 3M, 3T, dan Vaksinasi Jadi Satu Kesatuan untuk Atasi Covid-19

Economics editor Binti Mufarida
06/10/2021 16:36 WIB
Protokol kesehatan 3M, kemudian 3T yakni testing, tracing, dan treatment, juga vaksinasi menjadi satu kesatuan dalam penanganan Covid-19.
Catat Warga! 3M, 3T, dan Vaksinasi Jadi Satu Kesatuan untuk Atasi Covid-19
Catat Warga! 3M, 3T, dan Vaksinasi Jadi Satu Kesatuan untuk Atasi Covid-19

IDXChannel - Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito menegaskan bahwa protokol kesehatan 3M, kemudian 3T yakni testing, tracing, dan treatment, juga vaksinasi menjadi satu kesatuan dalam penanganan Covid-19. Jika hanya dilakukan salah satu, maka akan berpotensi bobolnya kasus Covid-19.  

“Sekarang kalau kita bicara vaksin, vaksin ini adalah salah satu tameng. Tadi sudah disampaikan oleh Menteri Kesehatan, 3M itu penting, 3T itu penting, vaksinasi itu penting dan tidak bisa sendiri-sendiri itu semuanya itu harus menjadi satu kesatuan karena kalau hanya satu maka akan potensi bobolnya ada,” ungkap Prof Wiku secara virtual dengan Sespim Lemdiklat Polri, Rabu (6/10/2021).

Pasalnya, virus ini ditularkan antar manusia yang sudah lewat dengan proses ditularkan diantara binatang atau hewan, sudah bisa menyebrang dan sekarang tinggal di antara manusia. “Dan mungkin nanti bisa kembali lagi menularkan pada hewan dan menjadi proses perubahan.”

Namun, Prof Wiku mengatakan jika melihat vaksin saat ini juga harus tahu variant of concern (VoC) virus Covid-19. “Kalau kita melihat vaksin sekarang, kita tahu variant of concern dulu, bahwa ada cukup banyak variant of concernnya dan yang terutama Alfa, Beta, Delta yang menjadi perhatian kita semuanya.”

Kemudian, untuk melihat VoC itu harus ada melihatnya dari berbagai level. Pertama adalah di laboratorium dan dilakukan menurut caranya adalah dengan uji namanya netralisasi. Ini artinya apakah vaksin yang ada itu mampu menetralisir atau antibodi yang ada itu menetralisir virus yang masuk.

“Itu diujinya di laboratorium, harus ada buktinya itu untuk kita meyakini bahwa memang terjadi netralisasi atau tidak terjadi netralisasi sehingga antibodi yang terbentuk atau vaksin yang ada tidak efektif. Itu ujinya di laboratorium,” paparnya.  

Kedua adalah pengujian pada populasi. “Kita pengen lihat efikasinya, ini menggambarkan vaksinnya timbul ketebalan pada tahap uji klinis. Jadi uji klinis setting penelitian yang sudah relatif terkontrol jumlah orangnya dan seterusnya karakteristiknya sudah terkontrol. Karena itu kita perlu mengamati jelas kalau gampangnya 1 + 1 = 2 apa nggak, kalau iya, maka uji klinis itulah akhirnya bisa mengatakan efisiensinya 100%, 70% dan seterusnya,” ungkap Prof Wiku.

Kemudian berikutnya lagi, kata Wiku, adalah kepada populasi dengan diberikan izin emergency. “Emergency kenapa? Karena memang studinya terbatas. Uji klinisnya baru terbatas, biasanya mengembangkan vaksin itu lama 6 sampai 7 tahun. Ini sekarang kita dipaksa nggak ada pilihan. Kalau kita mengikuti 6 sampai 7 tahun banyak sekali korban manusia di dunia.”

“Maka kita paksakan dengan studi yang terbatas tersebut diamati betul untuk bisa digunakan di masyarakat. Makanya dengan emergency use authorization,” papar dia. (NDA)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement