“Itu diujinya di laboratorium, harus ada buktinya itu untuk kita meyakini bahwa memang terjadi netralisasi atau tidak terjadi netralisasi sehingga antibodi yang terbentuk atau vaksin yang ada tidak efektif. Itu ujinya di laboratorium,” paparnya.
Kedua adalah pengujian pada populasi. “Kita pengen lihat efikasinya, ini menggambarkan vaksinnya timbul ketebalan pada tahap uji klinis. Jadi uji klinis setting penelitian yang sudah relatif terkontrol jumlah orangnya dan seterusnya karakteristiknya sudah terkontrol. Karena itu kita perlu mengamati jelas kalau gampangnya 1 + 1 = 2 apa nggak, kalau iya, maka uji klinis itulah akhirnya bisa mengatakan efisiensinya 100%, 70% dan seterusnya,” ungkap Prof Wiku.
Kemudian berikutnya lagi, kata Wiku, adalah kepada populasi dengan diberikan izin emergency. “Emergency kenapa? Karena memang studinya terbatas. Uji klinisnya baru terbatas, biasanya mengembangkan vaksin itu lama 6 sampai 7 tahun. Ini sekarang kita dipaksa nggak ada pilihan. Kalau kita mengikuti 6 sampai 7 tahun banyak sekali korban manusia di dunia.”
“Maka kita paksakan dengan studi yang terbatas tersebut diamati betul untuk bisa digunakan di masyarakat. Makanya dengan emergency use authorization,” papar dia. (NDA)