IDXChannel - Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongannya.
Pro dan kontra muncul dari adanya wacana kenaikan tarif cukai rokok ini. Tagar #SriMulyaniPembunuhPetani pun sempat meramaikan jagad Twitter.
Hal ini dikarenakan kenaikan cukai ini disebut akan berdampak pada petani tembakau Tanah Air.
“Kematian industri hasil tembakau kelak akan banyak disumbang oleh pemerintah. Dengan peraturan yang mencekik, dengan cukai rokok yang terus naik.” tulis akun twitter @boleh_merokok.
Mengutip website bolehmerokok.com, kenaikan tarif cukai rokok ini akan menyebabkan perubahan dalam sistem perniagaan hasil tembakau.
Menurut situs ini, pabrik rokok legal juga mengeluh pendapatannya rontok hingga 50% lebih dan tidak lagi didengarkan karena kenaikan tarif cukai sebelumnya membuat harga rokok sudah lewat dari kemampuan daya beli konsumen.
Jika melihat data, adapun pendapatan pajak dari cukai rokok di tahun ini terpantau meningkat year on year (yoy) dibanding tahun lalu. (Lihat grafik di bawah ini)
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tumbuh pesat tahun ini.
Penerimaan CHT hingga September 2022 mencapai Rp153,05 triliun.
“Pertumbuhan penerimaan (CHT) masih positif 19,27% yoy,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi APBN KiTa, (21/10).
Angka ini melesat signifikan dalam tiga tahun terakhir. Pada 2019, realisasi penerimaan CHT hanya Rp102,7 triliun.
Angka ini terus naik 8,53% yoy tahun berikutnya menjadi Rp111,46 triliun dan menjadi 15,14% yoy menjadi Rp128,33 triliun pada Januari-September 2021.
Hasil riset yang bertajuk Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menemukan jumlah perokok selama 10 tahun terakhir 2011-2021, meningkat 8,8 juta perokok dewasa.
Sehingga, terdapat 69,1 juta dari semula 60,3 juta perokok. Artinya 25 persen masyarakat Indonesia adalah perokok.
Three Musketeers Bisnis Rokok RI
Tak afdol membahas rokok tanpa membahas para produsen tembakau RI. Sebagai ceruk bisnis menjanjikan, rokok yang menjadi primadona ‘wong cilik’ ternyata dikuasai segelintir pengusaha utama.
Sri Mulyani juga menyebut konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan.
"Ini adalah kedua tertinggi setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu, tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Sri Mulyani.
Ketiga konglomerat rokok ini adalah PT Djarum, Gudang Garam, hingg HM Sampoerna.
Mengutip sejarahnya, PT Djarum awalnya merupakan sebuah pabrik rokok kretek kecil di Kudus dan dinamai Djarum Gramophon. Kemudian pada 21 April 1951, Oei Wie Gwan membeli pabrik tersebut dan disingkatnya menjadi Djarum.
Kedua anak Oei Wie Gwan yaitu Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono, ikut membangun Djarum hingga berhasil menjadi salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia.
Bisnis rokok mengantarkan anak-anak Oei Wie Gwan menjadi konglomerat dengan berbagai anak usaha.