PT Djarum merupakan satu-satunya perusahaan rokok besar yang tidak melantai di Bursa Efek Indonesia, sehingga data keuangannya belum dapat diakses.
Meski demikian, Grup Djarum memiliki sejumlah anak perusahaan di bursa. Seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang memiliki market cap Rp1078,66 triliun dan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) dengan market cap Rp59,18 triliun.
Ada pula emiten PT Solusi Tunas Pratama Tbk. (SUPR) dengan market cap Rp43,71 triliun hingga yang baru saja melantai PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) dengan market cap Rp53,79 triliun. Grup Djarum juga tercatat memiliki emiten supermarket PT Supra Boga Lestari Tbk. (RANC) atau yang dikenal sebagai Ranch Market.
Adapun, berdasarkan laporan dari Forbes Real Times Billionaire (8/11), R. Budi Hartono menjadi orang super kaya nomor wahid di Indonesia dengan kekayaan sebesar USD22,7 miliar dan Michael Hartono sebesar USD21,9 miliar.
Pemain besar industri rokok kedua adalah PT Gudang Garam Tbk (GGRM). Perusahaan asal Kediri, Jawa Timur ini telah berdiri sejak 1958 dan didirikan oleh Tjoa Jien Hwie atau dikenal sebagai Surya Wonowidjojo.
Perolehan laba bersih GGRM menurun drastis per Juni 2022 menjadi Rp956 miliar year on year (YoY). Laba bersih GGRM ini terkontraksi 59,4% dari tahun sebelumnya sebesar Rp 2,35 triliun setahun lalu pada bulan yang sama.
Hingga akhir Juni 2022 nilai aset yang dimiliki Gudang Garam mencapai Rp 83,63 triliun dari akhir tahun 2021 sebesar Rp 89,964 triliun.
Produk Gudang Garam bisa ditemukan dalam berbagai variasi, mulai dari sigaret kretek klobot (SKL), sigaret kretek linting-tangan (SKT), hingga sigaret kretek linting-mesin (SKM).
Selanjutnya ada PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) atau yang biasa dikenal dengan HM Sampoerna. Perusahaan ini telah berdiri sejak 1913 atau tahun ini memasuki usia 109 tahun. Didirikan oleh Liem Seeng Tee, produk andalan Sampoerna adalah Djie Sam Soe.
Mengutip paparan public expose HMSP, pendapatan bersih pada kuartal tiga (Q3) tahun ini meningkat menjadi Rp29,9 triliun. Adapun secara year to date (YTD) pada Q3 tahun ini atau naik 15%.
HMSP juga menjadi salah satu pembayar pajak terbesar pada 2021 mencapai Rp78,7 triliun. Secara market cap, HMSP mencatatkan sebesar Rp108,76 triliun.
Dalam sejarahnya, PT Philip Morris Indonesia (PT PMI) sebagai afiliasi Philip Morris International yang terkenal dengan produk rokok Marlboro, mengakuisisi mayoritas saham HMSP pada Mei 2005. Saat ini, PT Philip Morris Indonesia mempunyai 92,5% dari saham Sampoerna.
PMI memulai kegiatan bisnis di Indonesia pada bulan April 1984, dengan memproduksi dan mendistribusikan produk tembakau di bawah lisensi. PT PMI memulai kegiatan produski sendiri di Bekasi, Jawa Barat, sejak Mei 2006.
Saat ini, PT Philip Morris Indonesia dan Sampoerna telah memproduksi berbagai macam merek rokok untuk penjualan domestik dan untuk keperluan ekspor di 8 pabrik produksi yang berbeda.
Pada Q3 2022, HMSP memiliki pangsa pasar sebesar 28,2%. Angka ini naik dibanding Q2 sebesar 27,8%. Kini, bisnis keluarga Sampoerna melebar dan terjun ke agro industri, perbankan, dan bidang-bidang lainnya.
Di antaranya adalah PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), PT Bank Sahabat Sampoerna yang dulunya bernama PT Bank Dipo Internasional, PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI), PT Sampoerna Land, hingga Samko Timber Limited, perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Singapura.
Beban Cukai Membengkak
Data teranyar, hingga kuartal III 2022, laba bersih GGRM anjlok 63,78 persen secara tahunan menjadi Rp1,49 triliun. Pendapatan bersih hanya tumbuh 2,01 persen yoy menjadi Rp93,92 triliun selama 9 bulan pertama 2022.
Ini lantaran beban pita cukai, PPN dan pajak rokok yang mencapai Rp74,35 triliun hingga kuartal III atau 79,16 persen dibandingkan penjualan bersih Gudang Garam.
Setali tiga uang, laba bersih HMSP turun 11,75 persen yoy menjadi Rp4,90 triliun hingga triwulan ketiga tahun ini. Padahal, pendapatan bersih HMSP naik 15,00 persen yoy Rp83,39 triliun selama periode Januari-September 2022.
Mirip GGRM, beban pita cukai HMSP menggerus bottom line perusahaan, mencapai Rp50,34 triliun. Angka tersebut menyumbang 60,37 persen dari total pendapatan bersih perusahaan hingga kuartal III 2022
Vassilis Gkatzelis, Presiden Direktur PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dalam paparan public expose (Pubex) pada 1 November lalu, misalnya, mengatakan, sejak tahun 2020 terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi profitabilitas dari industri rokok.
Pertama, kenaikan pajak cukai sebesar dua digit dan lebih tinggi dari inflasi. Kedua, melebarnya kesenjangan jarak tarif cukai antara produk-produk Golongan 1 dan Di Bawah Golongan. Ketiga, penurunan daya beli yang semakin memburuk sejak pandemi.
“Jarak tarif cukai saat ini membesar sekitar dua kali lipat dari Rp195 per batang di tahun 2017 menjadi Rp385 per batang di tahun 2022. Selain itu, telah terjadi percepatan downtrading dengan segmen rokok harga murah menguasai 36% pangsa pasar, atau tumbuh hampir dua kali lipat dalam kurun waktu lima tahun. Hal ini berdampak pada profitabilitas industri,” ujarnya dalam Pubex HMSP (1/11). (ADF)