"Kalau kita coba konversi, berapa persen kenaikannya, bisa mencapai ratusan persen itu. Tentu sangat memberatkan sekali," tambahnya.
Sukandar yang juga memiliki usaha di bidang industri penyamakan kulit ini mengaku, dengan harga baru ini ia bisa mengalami kerugian hingga jutaan rupiah jika kapasitas produksi tetap sama seperti sebelum perang. Untuk menyiasatinya, para pengusaha hingga pengrajin kulit seperti dirinya mengurangi jumlah produksi.
"Ternyata lumayan juga ruginya, dari kenaikan kimia rugi bisa mencapai Rp10 juta untuk produksi 200 lembar kulit kambing. Makanya sekarang produksi dikurangi, pengusaha dan pengrajin kulit lain juga begitu," ungkapnya.
Menurutnya, perang Rusia-Ukraina bukan satu-satunya penyebab dari turun drastisnya kapasitas produksi industri kulit. Sukandar menyebut pandemi Covid-19 yang merebak pada dua tahun lalu telah membuat dari industri kulit lesu.
"Sekarang karena perang, sebelumnya Covid-19. Sebenarnya produksi memang sudah menurun sejak pandemi. Sebagai contoh, seorang pengusaha dahulu bisa produksi 200 lembar, namun sekarang hanya 50 lembar. Produksi 50 lembar ini pun membuat kami was-was, apakah akan terjual semua," paparnya.