IDXChannel - Defisit perdagangan Amerika Serikat (AS) kembali melebar pada Oktober tahun ini. Mengutip Investing.com, angka ini meningkat dua bulan berturut-turut seiring harga minyak mulai naik lagi.
Kondisi ini mendorong tagihan impor negara Paman Sam menjadi lebih tinggi, sedangkan naiknya dolar menahan tingkat ekspor dari negeri adidaya tersebut.
Gap perdagangan AS melebar ke level tertinggi dalam empat bulan terakhir sebesar USD78,2 miliar. Sementara di bulan sebelumnya, angka defisit mencapai USD74,1 miliar.
Angka ini sebenarnya masih meleset dari perkiraan pasar sebesar USD80 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)
Atas dasar penyesuaian inflasi, defisit perdagangan barang bulan Oktober meningkat menjadi USD112,6 miliar.
Mirisnya, aktivitas ekspor turun 0,7%, penurunan bulanan kedua berturut-turut, menjadi hanya USD256,6 miliar, dan menjadi nilai terendah sejak Mei.
Penurunan penjualan terjadi untuk komoditas gas alam, produk minyak lainnya dan bahan baku farmasi. Meski demikian, kenaikan terjadi pada komoditas minyak mentah, kedelai, sektor perjalanan, transportasi dan jasa bisnis.
Namun, AS lebih banyak mengekspor produk minyak bumi dengan dolar daripada mengimpornya. Jadi harga minyak mentah yang lebih rendah tidak lagi membantu banyak dalam mengurangi defisit perdagangan seperti yang terjadi di masa lalu.
Di samping itu, harga minyak telah turun sejak awal tahun ini. Harga rata-rata impor minyak mentah di bulan tersebut adalah USD82,05 per barel, turun 5,7% dari bulan September, dan turun 21,7% dari puncaknya di bulan Juni.
Sementara itu, impor naik 0,6% menjadi USD334,8 miliar, tertinggi sejak Juni.
Kenaikan ini ditopang oleh belanja bahan bakar minyak, bentuk logam jadi, bahan bakar nuklir, mobil penumpang, bahan baku farmasi, sektor perjalanan, telekomunikasi, dan komputer. Di sisi lain, impor ponsel, mainan, game, alat olahraga, dan alat transportasi menurun.
Dengan demikian, ini menggambarkan kekuatan yang luas dalam permintaan AS saat negara tersebut memasuki musim liburan.
Biro Analisis Ekonomi (BEA) AS mengatakan defisit perdagngan AS dengan China pada Oktober turun USD6 miliar karena impor turun sekitar 10% menjadi USD39,7 miliar.
Sebaliknya, defisit dengan Uni Eropa melebar di tengah rebound ekspor dari Eropa. Pasalnya, hambatan rantai pasok pabrik-pabrik di Uni Eropa telah mereda.
Namun, menurut BEA, sektor ritel masih membatasi beberapa impor barang, terutama barang-barang konsumen, setelah adanya pemesanan berlebihan di awal tahun dan menyebabkan adanya kelebihan pasokan barang.
BEA mengatakan impor barang konsumsi turun USD600 juta dari bulan September. Menariknya, impor ponsel juga turun USD2 miliar dan impor mainan turun USD1 miliar setelah sebelumnya terjadi lonjakan pesanan sebelum musim libur akhir tahun.
Turunnya pengiriman ponsel diproyeksikan berlanjut hingga November, mengingat adanya gonjang-ganjing pabrik Foxconn, pembuat komponen produk Apple di China pada Senin (5/11).
Perusahaan tersebut melaporkan penurunan pendapatan 29% pada November tatkala gelombang protes terhadap kondisi kerja di pabrik raksasanya di Zhengzhou berdampak pada produksi.
Tak Selalu Berarti Pelemahan Ekonomi
Meskipun neraca perdagangan erat kaitannya dengan aktivitas ekonomi, tapi defisit neraca dagang tak selalu berhubungan dengan melemahnya performa ekonomi suatu negara.
Dalam sejarahnya, AS memang memiliki defisit perdagangan yang besar dan terus-menerus. Hal ini karena AS mengimpor lebih banyak nilai barang daripada ekspornya ke luar negeri, terutama dari impor energi dan teknologi.
Defisit perdagangan terjadi ketika nilai impor suatu negara melebihi nilai ekspornya—dengan impor dan ekspor mengacu pada produk barang dan jasa.
Secara sederhana, defisit perdagangan berarti suatu negara membeli lebih banyak barang dan jasa daripada menjualnya.
Namun, surplus perdagangan yang kuat tidak selalu berarti pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Ben Bernanke, ekonom senior di Brookings Institutions sekaligus mantan ketua The Fed, memberikan kesimpulan dalam analisisnya, fakta bahwa beberapa negara memiliki surplus perdagangan yang besar (ekspor jauh lebih besar daripada impor), namun memiliki performa ekonomi yang baik-baik saja.
Jepang, misalnya, telah mengalami surplus perdagangan yang signifikan selama beberapa dekade terakhir.
Namun ekonomi negeri Sakura juga terpantau terpuruk hampir sepanjang tahun. Contohnya di tahun 2009, di mana pertumbuhan PDB Jepang terkontraksi minus 5,69%. Sementara surplus perdagangan di tahun tersebut tercatat mencapai USD23,75 miliar.
Bernanke juga mencontohkan Jerman yang juga umumnya mengalami surplus perdagangan yang kuat tetapi mencatat pertumbuhan ekonomi yang biasa-biasa saja.
Pada tahun 2014, surplus perdagangan Jerman adalah sekitar USD250 miliar, atau hampir 7 persen dari PDB negara tersebut. Itu melanjutkan tren kenaikan yang telah berlangsung setidaknya sejak tahun 2000. Namun, data pertumbuhan PDB di tahun yang sama hanya tercatat 2,21%.
Di AS, beberapa periode pertumbuhan ekonomi yang kuat terjadi pada saat defisit perdagangan melonjak. Kondisi ini karena konsumen dan bisnis membeli lebih banyak produk dan layanan dari luar negeri.
Ekonom juga tidak setuju dengan dampak luas dari defisit perdagangan terhadap lapangan kerja.
Terdapat pendapat bahwa impor pasti akan mengurangi lapangan kerja di dalam negeri. Namun, seringkali setiap kehilangan pekerjaan terbatas pada sektor tertentu.
Penelitian oleh Economic Policy Institute menemukan bahwa lonjakan impor China merugikan 3,7 juta pekerjaan AS antara tahun 2001 dan 2018 di mana sekitar 75% dari pekerjaan tersebut adalah di bidang manufaktur.
Ini menjelaskan mengapa politisi AS sering berfokus pada defisit perdagangan bilateral dengan negara tertentu seperti China.
Dus, dapat disimpulkan bahwa data aktivitas perdagangan memang harus dilihat secara kontekstual sesuai kondisi dengan mitra dagang masing-masing negara. (ADF)