Tak Selalu Berarti Pelemahan Ekonomi
Meskipun neraca perdagangan erat kaitannya dengan aktivitas ekonomi, tapi defisit neraca dagang tak selalu berhubungan dengan melemahnya performa ekonomi suatu negara.
Dalam sejarahnya, AS memang memiliki defisit perdagangan yang besar dan terus-menerus. Hal ini karena AS mengimpor lebih banyak nilai barang daripada ekspornya ke luar negeri, terutama dari impor energi dan teknologi.
Defisit perdagangan terjadi ketika nilai impor suatu negara melebihi nilai ekspornya—dengan impor dan ekspor mengacu pada produk barang dan jasa.
Secara sederhana, defisit perdagangan berarti suatu negara membeli lebih banyak barang dan jasa daripada menjualnya.
Namun, surplus perdagangan yang kuat tidak selalu berarti pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Ben Bernanke, ekonom senior di Brookings Institutions sekaligus mantan ketua The Fed, memberikan kesimpulan dalam analisisnya, fakta bahwa beberapa negara memiliki surplus perdagangan yang besar (ekspor jauh lebih besar daripada impor), namun memiliki performa ekonomi yang baik-baik saja.
Jepang, misalnya, telah mengalami surplus perdagangan yang signifikan selama beberapa dekade terakhir.
Namun ekonomi negeri Sakura juga terpantau terpuruk hampir sepanjang tahun. Contohnya di tahun 2009, di mana pertumbuhan PDB Jepang terkontraksi minus 5,69%. Sementara surplus perdagangan di tahun tersebut tercatat mencapai USD23,75 miliar.
Bernanke juga mencontohkan Jerman yang juga umumnya mengalami surplus perdagangan yang kuat tetapi mencatat pertumbuhan ekonomi yang biasa-biasa saja.
Pada tahun 2014, surplus perdagangan Jerman adalah sekitar USD250 miliar, atau hampir 7 persen dari PDB negara tersebut. Itu melanjutkan tren kenaikan yang telah berlangsung setidaknya sejak tahun 2000. Namun, data pertumbuhan PDB di tahun yang sama hanya tercatat 2,21%.
Di AS, beberapa periode pertumbuhan ekonomi yang kuat terjadi pada saat defisit perdagangan melonjak. Kondisi ini karena konsumen dan bisnis membeli lebih banyak produk dan layanan dari luar negeri.
Ekonom juga tidak setuju dengan dampak luas dari defisit perdagangan terhadap lapangan kerja.
Terdapat pendapat bahwa impor pasti akan mengurangi lapangan kerja di dalam negeri. Namun, seringkali setiap kehilangan pekerjaan terbatas pada sektor tertentu.
Penelitian oleh Economic Policy Institute menemukan bahwa lonjakan impor China merugikan 3,7 juta pekerjaan AS antara tahun 2001 dan 2018 di mana sekitar 75% dari pekerjaan tersebut adalah di bidang manufaktur.
Ini menjelaskan mengapa politisi AS sering berfokus pada defisit perdagangan bilateral dengan negara tertentu seperti China.
Dus, dapat disimpulkan bahwa data aktivitas perdagangan memang harus dilihat secara kontekstual sesuai kondisi dengan mitra dagang masing-masing negara. (ADF)