Mulyanto minta Pemerintah komitmen menyediakan energi murah bagi masyarakat. Jangan karena ada substitusi ini maka biaya hidup masyarakat menjadi lebih mahal. Karena itu Mulyanto menduga kenaikan harga LPG non-subsidi akhir Desember 2021 lalu merupakan bagian dari upaya Pemerintah mengkondisikan masyarakat agar dapat memaklumi harga jual DME yang relatif lebih mahal.
"Akhir Desember 2021 harga LPG non-subsidi sudah dinaikkan terlebih dahulu oleh pemerintah sebagai pendahuluan. Ini kan terkesan sekedar akal-akalan untuk mengurangi gap antara harga DME dengan LPG. Sebenarnya, opsi pengurangan konsumsi LPG impor bukan hanya melalui penggunaan DME. Opsi lain adalah melalui penggunaan jaringan gas rumah tangga (jargas) dan kompor listrik. Pemerintah harus mendalami betul opsi-opsi ini, agar harga energi benar-benar menguntungkan rakyat," paparnya.
Seperti diketahui, proyek gasifikasi batu bara ini akan dibangun oleh PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang bekerjasama dengan dan Air Products & Chemical Inc (APCI). Proyek ini masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), dengan mendatangkan investasi asing dari APCI sebesar 2,1 miliar dollar AS atau setara Rp 30 triliun.
“Dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun atau setara dengan Rp7 triliun per tahun, sekitar sepuluh persen dari total impor LPG yang sekitar Rp80 triliun per tahun. Sebenarnya kontribusinya tidak terlalu besar,” pungkas Mulyanto.
(NDA)