IDXChannel - Perekonomian negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS) tengah mengalami sejumlah tanda pelemahan selama kuartal pertama tahun ini.
Serangkaian data ekonomi AS menunjukkan kekhawatiran, ditambah serangkaian kejadian yang membebani prospek pertumbuhan ke depan.
Sejumlah tanda-tanda ekonomi AS lesu terpantau dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih rendah, isu default utang luar negeri yang menggemparkan, serta keyakinan bisnis dan konsumen yang juga melemah.
Inflasi, di sisi lain, juga masih belum sepenuhnya terkendali di kisaran target bank sentral. Terlebih, The Federal Reserve (The Fed) dianggap tak menunjukkan progress dari serangkaian kebijakan pengetatan moneternya.
Selain itu, peristiwa kolapsnya tiga institusi perbankan di AS menambah pelik konstelasi makro negeri Paman Sam.
1. Ekonomi Tumbuh Lemah
Berdasarkan data terbaru, ekonomi AS hanya tumbuh 1,1% tahunan pada Q1 2023. Ini jauh lebih lambat dari kuartal sebelumnya sebesar 2,6% dan meleset dari ekspektasi pasar yang memproyeksikan pertumbuhan 2%. Angka ini juga jauh di bawah ekspektasi konsensus di Wall Street sebesar 1,9%.
Data ini juga menjadi laju ekspansi terlemah sejak Q2 2022. Mengutip Trading Economics, ini karena pertumbuhan investasi bisnis melambat dan kenaikan suku bunga terus merugikan pasar perumahan.
Investasi tetap residensial mengalami kontraksi selama 8 periode berturut-turut yakni minus 4,2% versus minus 25,1% pada kuartal empat tahun lalu. Pada saat yang sama, pertumbuhan investasi tetap nonresidensial melambat tajam ke level 0,7% dibanding 4% pada kuartal sebelumnya.
Angka pertumbuhan ini menjadi anomali di mana pertumbuhan belanja konsumen meningkat menjadi 3,7% dibanding 1% pada kuartal akhir 2022.
Meskipun inflasi tetap tinggi, belanja publik tetap meningkat lebih cepat sebesar 4,7%
Permintaan eksternal bersih juga memberikan kontribusi positif terhadap PDB karena ekspor meningkat lebih dari impor.
2. Gonjang-Ganjing Default Utang
Utang negeri Paman Sam dilaporkan akan mengalami risiko gagal bayar (default).
Data dari Kementerian Keuangan per 31 Maret mencatat, utang AS tembus ke level USD31,45 triliun dan menjadi yang terbesar di dunia.
Dorongan untuk menaikkan plafon utang pemerintah terus bergema di Kongres AS. Perkembangan terakhir, Ketua DPR AS Kevin McCarthy berhasil meloloskan rancangan Undang-Undang (UU) batasan utang. Ini menjadi upaya bagi Gedung Putih menghindari default.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen pada hari Selasa (25/4) juga memperingatkan jika plafon utang pemerintah tak dinaikkan, akan berdampak pada gagal bayar utang.
Selanjutnya jika tak disahkan, ini akan berpotensi mendatangkan malapetaka ekonomi yang akan mendorong suku bunga AS lebih tinggi untuk tahun-tahun mendatang.
Dalam RUU utang AS, Kongres berencana menaikkan plafon utang sebesar USD1,5 triliun, untuk menunda gagal bayar utang hingga 31 Maret 2024.
Sebagai imbalan, Partai Republik menuntut pemotongan anggaran sebesar USD4,8 triliun untuk operasional permintaan Biden.
3. Keyakinan Konsumen Melemah
Kepercayaan konsumen AS juga menunjukkan pemburukan pada April, di mana masyarakat AS menjadi lebih pesimis tentang pasar kerja.
Indeks Keyakinan Konsumen Conference Board (CB), yang mengukur sikap terhadap ekonomi dan pasar kerja, turun menjadi 101,3 pada April.
Angka ini lebih rendah dibanding bulan sebelumnya di level 104 dan menjadi level terendah sejak Juli 2022. Ekspektasi ekonomi kelompok bisnis juga terpantau turun pada April.
Sikap konsumen tetap stabil sejak gejolak di industri perbankan bulan lalu. Namun, inflasi yang belum terkendali dan ketidakpastian ekonomi terus membebani konsumen.
4. Inflasi Belum Terkendali
Indeks Harga Konsumen AS telah menunjukkan perlambatan yang signifikan sejak melonjak sebesar 9% pada Juni 2022. Saat ini, inflasi IHK mencapai 5%, terendah sejak Mei 2021.
Beberapa ekonom percaya bahwa level di sekitar 5% adalah titik di mana inflasi tidak lagi dianggap sebagai masalah darurat. Itu berarti The Fed dapat merasakan lebih sedikit tekanan untuk menstabilkan harga dengan cepat melalui kenaikan suku bunga yang agresif dan menyakitkan secara ekonomi.
Chris Campbell, kepala strategi kebijakan di perusahaan konsultan risiko global Kroll dan mantan asisten menteri keuangan, mengatakan ia masih meyakini resesi akan dimulai pada paruh kedua tahun ini, dan lebih buruknya akan mengalami stagflasi.
Di samping itu, dalam Global Fund Manager Survey Bank of America bulan April, sekitar 86% di antaranya mengatakan stagflasi akan menjadi prospek ekonomi global selama 12 bulan ke depan.
Eugenio Aleman, kepala ekonom di perusahaan raksasa jasa keuangan Raymond James, mengatakan bahwa dengan data inflasi terbaru masih jauh dari target The Fed 2%, dia yakin bank sentral akan menaikkan suku bunga 25 basis poin lagi pada pertemuan FMOC berikutnya. (ADF)