Dengan begitu, PT KCIC yang merupakan anak usaha PT KAI, akan fokus pada layanan operasional kereta saja. Sedangkan biaya pemeliharaan terkait fasilitas pendukung akan menjadi tanggungan pemerintah.
"Tetapi yang kereta apinya, semua operasional di KAI. Tapi ini perlu kesepakatan dengan pihak China, karena memang kerja sama Indonesia-China," tambahnya.
Sebelumnya, pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan beban utang proyek kereta cepat telah membengkak hingga USD7,2 miliar atau setara Rp116 triliun.
Toto mengatakan komposisi utang tersebut sekitar 75 persen merupakan pinjaman dari China Development Bank (CDB) dengan suku bunga sekitar 3,5-4 persen. Hal ini membuat konsorsium PT KCIC yang mayoritas dipegang oleh PT KAI harus membayar bunga utangnya saja sekitar Rp2 triliun per tahun.
"Kalau kita melihat total biaya investasi awal ditambah cost overrun itu kan hampir USD7,2 miliar (utang KCJB). Bahkan utang yang 75 persen dari CDB itu dengan bunga 3,5 sampai 4 persen, mereka (KCIC) harus bayar bunganya saja mungkin Rp2 triliun ya," ujarnya saat dihubungi IDX Channel, Sabtu (22/8/2025).
Toto juga menyoroti pembukuan kerugian PT KCIC yang praktis membebani PT KAI sebagai pemilik mayoritas konsorsium tersebut. Tercatat, perusahaan itu masih menelan kerugian sebesar Rp1,6 triliun pada semester I-2025. Meskipun, jumlahnya menyusut jika dibandingkan dengan Semester I-2024 sebesar Rp2,3 triliun.
Menurutnya, beban utang yang cukup besar itu tidak akan mampu ditutup jika mengandalkan pendapatan dari penjualan tiket semata. Mengingat, saat ini okupansi harian Whoosh juga masih berada di bawah skenario moderat yaitu 60 persen.
(Febrina Ratna Iskana)