IDXChannel - Dalam dua setengah tahun terakhir, institusi kesehatan di berbagai negara mengalami guncangan hebat akibat pandemi Covid-19.
Orang dewasa, anak-anak, hingga tenaga kesehatan menjadi korban keganasan virus Corona. Jutaan nyawa berguguran di seluruh dunia.
Sistem kesehatan di berbagai belahan negara kolaps, tak terkecuali Indonesia. Banyak rumah sakit mengalami over kapasitas, ventilator jadi barang rebutan, hingga masker dan handsanitizer jadi barang langka.
Tak hanya banyaknya nyawa yang gugur dan juga jatuhnya sistem kesehatan, pandemi juga menghantam ekonomi cukup keras. Pertumbuhan ekonomi melambat, bahkan mencapai minus di beberapa negara.
Menurut World Bank, resesi akibat pandemi telah menurunkan pertumbuhan PDB global secara cepat dan tajam dibandingkan dengan momentum resesi global sebelumnya sejak 1990. (Lihat grafik di bawah ini)
Prakiraan Pertumbuhan PDB Global 1990-2020
Sumber: World Bank
Semua instrumen dikerahkan untuk menangani pandemi, mulai dari pembentukan Satgas Covid-19, peningkatan anggaran darurat kesehatan, hingga diplomasi vaksin yang gencar dilakukan Indonesia.
Kondisi yang terjadi selama masa kritis pandemi disinyalir terjadi karena banyak pemerintah tak punya persiapan menghadapi pagebluk ini. Kelemahan arsitektur kesehatan global disebut menjadi salah satu penyebab ketimpangan penanganan pandemi.
Memasuki tahun 2022, dunia mulai perlahan berbenah. Pertumbuhan ekonomi perlahan mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun, dari sisi arsitektur kesehatan global, masih banyak yang perlu dibenahi.
Tahun ini, Indonesia menjadi tuan rumah Presidensi G20, ajang pertemuan bergengsi 20 negara kekuatan ekonomi dunia.
G20 merupakan forum ekonomi utama dunia yang memiliki posisi strategis karena secara kolektif mewakili dua per tiga atau sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia.
Tema presidensi G20 tahun ini adalah ‘Recover Together, Recover Stronger’ dengan tiga isu prioritas utama yang memerlukan tindakan kolektif secara global, yakni mengenai arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, serta transformasi digital dan ekonomi.
Agenda G20 kali ini sangat krusial, terutama reformasi arsitektur kesehatan global. Indonesia selalu mengambil peran dalam upaya penguatan ketahanan dunia menghadapi pandemi di masa mendatang.
Saat menjadi pembicara utama sesi Keynote Dialogue rangkaian kegiatan Special Event Toward G20 di Washington DC, Amerika Serikat pada Senin (10/10), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pandemi Covid-19 yang dihadapi oleh semua negara di dunia sangat merugikan, tidak hanya mengancam kesehatan melainkan juga berimplikasi pada ekonomi dan sosial.
Presidensi G20 Indonesia berupaya memperkuat arsitektur kesehatan global untuk mempersiapkan kemungkinan terjadinya pandemi lainnya ke depan.
“Kita tahu bahwa dunia belum siap menghadapi pandemi semacam ini. Itulah sebabnya sejak tahun 2020, G20 meminta panel independen untuk benar-benar meninjau apakah dunia bisa lebih mempersiapkan diri. [Itu] karena pandemi semacam ini tidak akan menjadi yang pertama dan terakhir, dan mungkin frekuensi pandemi berikutnya akan lebih banyak lagi,” ungkap Menkeu dalam acara tersebut mengutip laman Kementerian Keuangan (13/10).
Pentingnya Pemerataan Akses Kesehatan Global
Kemunculan virus Corona mendorong penemuan vaksin dipercepat untuk segera mengakhiri Pandemi Covid-19. Langkah itu berhasil dengan munculnya berbagai merk dan jenis vaksin mulai dari Sinovac asal China, AstraZeneca buatan Oxford, hingga Pfizer dan Modena dari AS.
Namun sayangnya, penemuan vaksin Covid-19 belum dibarengi dengan distribusi yang adil, terutama di negara berkembang.
Menurut Our World in Data, 95% orang dewasa berpenghasilan menengah dan rendah tidak dilindungi oleh program vaksinasi global. Hanya 13,6% orang di negara berpenghasilan rendah yang telah menerima setidaknya satu dosis.
Peluncuran vaksinasi yang lebih lambat dan tertunda di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah telah membuat mereka rentan terhadap varian baru Covid-19, dan pemulihan yang lebih lambat dari krisis.
Negara-negara berpenghasilan tinggi memulai vaksinasi rata-rata dua bulan lebih awal dari negara-negara berpenghasilan rendah. Sementara, cakupan vaksinasi di negara-negara berpenghasilan rendah masih sangat rendah.
Saat ini, terdapat COVAX (Covid-19 Vaccines Global Access), sebuah inisiatif global untuk pemerataan akses vaksin yang dipimpin oleh Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI), WHO, Coalition for Epidemic Preparedness Innovations, hingga Indonesia.
Namun ketimpangan akses vaksinasi masih saja terjadi. Berdasarkan laporan Our World Data (OWD), negara berpenghasilan tinggi telah memvaksin 3 dari 4 orang, atau sekitar 72,57% dari populasinya dengan setidaknya satu dosis per 12 Oktober 2022.
Sedangkan negara berpenghasilan rendah masih memvaksin 1 dari 4 orang, atau hanya 24,62% dari total populasi setidaknya satu dosis vaksin per tanggal yang sama.
Kondisi ini merupakan ironi yang harus diselesaikan oleh negara-negara G20 bersama-sama dengan WHO dan lembaga berkepentingan lainnya. (Lihat grafik di bawah ini).
Ketimpangan Dosis Vaksin Covid-19
Sumber: Our World Data
Hal ini disebabkan karena harga vaksin masih terbilang cukup mahal apalagi bagi negara-negara miskin. Data dari Covid-19 Vaccine Purchase Dataset menunjukkan biaya rata-rata per dosis vaksin berkisar antara USD2 hingga USD40. Estimasi biaya pengiriman vaksin mencapai USD 3,70 per orang per dua dosis.
Kondisi ini menjadi beban keuangan yang signifikan bagi negara-negara berpenghasilan rendah dengan rata-rata pengeluaran kesehatan per kapita tahunan mencapai USD41 menurut Global Health Expenditure Database.
Di satu sisi, program vaksinasi akan meningkatkan biaya perawatan kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah dengan peningkatan anggaran negara sebesar 30% hingga 60% untuk memenuhi target 70% vaksinasi dari total populasi.
Di sisi lain, negara-negara berpenghasilan tinggi hanya membutuhkan kenaikan anggaran untuk vaksinasi sebesar 0,8% untuk mencapai target 70% vaksinasi dari total populasi.
Pentingnya Dana Kesehatan Abadi
Wacana tentang urgensi dana kesehatan global telah bergulir sejak pandemi menghantam dunia.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diselenggarakan di Roma, Italia pada akhir 2021 lalu, menghasilkan pakta deklarasi dari para pemimpin negara anggota G20.
Sejumlah isu yang masuk di dalam deklarasi tersebut antara lain kesehatan, energi dan perubahan iklim, perjalanan internasional, hingga ekonomi digital.
Mengutip pernyataan dari Kementerian Luar Negeri RI, dalam bidang kesehatan, Indonesia termasuk salah satu negara yang mengusulkan pembentukan joint health and finance task force untuk membantu pendanaan penanganan kesehatan di masa pandemi.
“Disepakati pembentukan joint health and finance task force untuk menyusun road map pendanaan bantuan penanganan kesehatan, khususnya untuk negara-negara miskin dan berkembang,” ujar Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi di Glasgow, Skotlandia pada akhir November 2021 lalu.
Jika ditarik ketika pandemi sedang berada pada titik kritisnya, pendanaan menjadi hal yang cukup penting, terutama bagi negara-negara berkembang.
Anggaran kesehatan yang meningkat untuk mengatasi wabah Covid-19 adalah salah satu masalah yang pelik.
Banyak negara harus meningkatkan anggaran kesehatan mereka untuk penanganan Covid-19 di tengah kelesuan ekonomi.
Berdasarkan laporan IMF, terjadi peningkatan utang global sekitar USD19,5 triliun pada 2020. Tentu berhutan menjadi jalan pintas bagi banyak negara untuk menangani pandemi, terutama bagi mereka yang tidak punya cukup anggaran belanja.
Lembaga kesehatan dunia, world health organization (WHO) juga banyak menuai kritik akibat ketidakmampuannya melakukan intervensi secara mendalam untuk menangani pandemi di negara-negara berkembang.
Hal ini disinyalir karena WHO tidak memiliki anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan global dalam memerangi Covid-19.
Mengutip The Conversation, total anggaran program yang diusulkan untuk WHO untuk 2020-2021 adalah USD4,84 miliar atau sekitar USD2,4 miliar per tahun, meningkat 9% dari tahun anggaran dua tahun sebelumnya. Selain itu, sebesar USD1 miliar dialokasikan untuk operasi darurat. Namun, jumlah ini terlalu kecil untuk badan sebesar WHO.
Sementara, Amerika Serikat (AS) merupakan negara pemberi donor utama bagi WHO. AS menyumbang hampir USD90 juta atau sekitar 16% dari total anggaran organisasi tersebut pada 2018-2019.
Keputusan Presiden AS Donald Trump yang sempat menghentikan pendanaan AS ke WHO di tengah pandemi virus corona terang saja memicu kontroversi besar. (Lihat grafik di bawah ini).
Untuk mengakali kekurangan dana penanganan pandemi, sebagai strategi jangka pendek, WHO mendorong pendanaan kolektivis sebesar USD23 miliar untuk mengakhiri pandemi sebagai dana darurat global pada 2022.
WHO telah mengembangkan Access to COVID-19 Tools Accelerator (ACT-A), sebuah program untuk mendukung semua kegiatan penelitian dan pengembangan. dalam kemungkinan wabah di masa depan, manufaktur, regulasi, pembelian dan pengadaan alat yang diperlukan untuk mengakhiri pandemi Covid-19.
Namun, diperlukan strategi yang kuat yang melibatkan institusi dan kerjasama internasional yang kuat untuk mencapai kerja sama pendanaan kesehatan global.
Indonesia sendiri juga dibuat kalang kabut akibat Covid-19. Anggaran kesehatan RI terpantau juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, terlebih setelah adanya Pandemi Covid-19. (Lihat grafik di bawah ini).
Terpantau anggaran kesehatan RI meningkat Rp291,5 triliun pada 2020, dan terus meningkat di tahun berikutnya. Pada 2021, anggaran naik Rp154,5 triliun mencapai Rp2.750 triliun. Kemudian di tahun 2022 anggaran diturunkan Rp35,84 triliun menjadi Rp2.714,16 triliun.
Pada 2020, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperoleh porsi anggaran cukup besar mencapai Rp2914 triliun untuk penanganan Covid-19. BRIN juga memperoleh anggaran sebesar Rp81 triliun untuk pengembangan vaksin Covid-19. (Lihat tabel di bawah ini).
Tantangan anggaran yang cukup besar ini mendorong Indonesia untuk mendorong terbentuknya Financial Intermediary Fund (FIF). Menurut Menkeu Sri Mulyani, pembahasan kesiapsiagaan merespon pandemi melalui FIF ini mulai diangkat dalam Presidensi G20 di Roma Italia.
Menurut Menkeu, sebagian besar negara anggota G20 memberikan dukungan kuat bahwa WHO perlu diperkuat dalam hal efektivitas, kredibilitas, serta sumber daya yang lebih memadai.
Terlebih, jika terkait dengan pandemi atau juga perubahan iklim, dunia dihadapkan pada kesenjangan antara isu yang perlu ditangani dan ketidakseimbangan tata kelola atau sumber daya masing-masing negara yang menciptakan respon berbeda.
“Khususnya dalam pandemi, kita melihat WHO sebagai tata kelola atau otoritas kesehatan global perlu dibenahi dan kemudian G20 sebagai forum utama ekonomi global memutuskan bahwa kita perlu mendukung melalui pembentukan dari FIF ini,” jelas Menkeu.
FIF telah didirikan di bawah World Bank sebagai wali amanat. Saat ini FIF telah memiliki 15 kontributor yakni 12 kontributor berasal dari anggota G20 dan 3 filantropi internasional dengan dana yang terkumpul mencapai USD1,373 miliar.
“Kami sekarang tidak membahas apakah kami membutuhkan FIF, tetapi kami berbicara tentang apa yang akan menjadi tata kelola agar kami dapat menggunakan dana USD1,373 miliar dalam hal bagaimana kami akan memperkuat respon kesiapsiagaan pandemi terutama di negara berkembang,” pungkas Menkeu.
Mengutip laman WHO, pendanaan FIF secara resmi ditetapkan oleh Dewan Pengurus FIF pada pertemuan perdananya 8 hingga 9 September 2022.
FIF akan menyediakan aliran pendanaan tambahan khusus, pembiayaan jangka panjang untuk memperkuat ketahanan menghadapi pandemidi masa depan dan mengatasi kesenjangan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Proposal investasi yang akan didanai oleh FIF akan dibuka mulai November 2022.
“Covid-19 telah menjadi bukti pentingnya untuk membangun sistem kesehatan yang lebih kuat. Berinvestasi sekarang akan menyelamatkan nyawa dan sumber daya untuk tahun-tahun mendatang untuk membantu negara dan kawasan berpenghasilan rendah dan menengah menjadi lebih siap menghadapi krisis kesehatan global,” kata Presiden Grup Bank Dunia David Malpass mengutip laman WHO (13/10).
Direktur pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, pada April lalu juga menyebutkan, untuk melawan pandemi, dunia membutuhkan perangkat yang komprehensif yang mencakup vaksinasi, hingga perawatan anti-virus.
Analisis terbaru dari IMF menunjukkan pencegahan pandemi dapat dilakukan dengan pendanaan USD15 miliar di tahun ini, dan bisa dianggarkan USD10 miliar setiap tahun sesudahnya.
“Tentunya, jika kita telah belajar sesuatu dari pandemi, keamanan kesehatan adalah keamanan ekonomi,” kata Kristalina.
Untuk itu, forum KTT G20 di Bali pada November mendatang sebaiknya salah satunya berfokus pada penegakan komitmen pendanaan bagi arsitektur kesehatan global.
Dengan adanya pendanaan global untuk persiapan pandemi, efek kejut bisa diminimalisir jika terjadi lagi outbreak virus di tengah ramalan ekonomi yang memburuk dan ancaman resesi di tahun depan. (ADF)