Adapun harga pupuk merupakan faktor yang paling menjadi perhatian petani tebu. Pasalnya, petani harus merasakan kenaikan harga pupuk lantaran alokasi subsidi pupuk untuk petani tebu mengalami penurunan mulai dari 2019 dan 2020.
Bahkan, 95% petani sudah beralih menggunakan pupuk non subsidi pada 2020. Ini dilakukan karena berbagai pertimbangan, salah satunya adalah kemudahan untuk menjangkau pupuk non subsidi. Adapun harga pupuk non subsidi ketika belum memasuki musim pupuk adalah Rp4.000, atau 2 kali lipat harga pupuk subsidi.
“Namun, ketika masuk ke musim panen, harga pupuk bisa capai 4x lipat harga pupuk subsidi. Biasanya dibutuhkan Rp2,5 juta untuk 1 hektar tanah, ini bisa meningkat hingga minimal Rp8 juta hingga Rp10 juta. Kalau harga gula tidak ikut naik, tentu petani akan semakin meninggalkan tebu,” bebernya.
Selain itu, pihaknya juga meminta pemerintah menyerahkan harga penjualan kepada mekanisme pasar. Sejak 2016, Soemitro mengatakan, pemerintah telah menetapkan harga acuan penjualan (HAP) yang mengancam keberlangsungan petani karena harga yang stagnan dari tahun ke tahun.
“Harga di konsumen harus dinamis dengan tidak mengikat pada HAP, karena ini bukan kepentingan kami tapi kepentingan konsumen, Ini tidak memberikan gairah dan membatasi pergerakan harga. Padahal pemerintah bisa melindungi konsumen dengan operasi pasar ketika harga tinggi,” katanya.
(FRI)