IDXChannel - Pemerintah berencana menaikkan harga pokok penjualan (HPP) gula petani menjadi Rp12.500 dari Rp11.500. Meski begitu, keputusan tersebut tidak membuat petani tebu puas.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen mengatakan, rencana pemerintah untuk menaikan HPP gula masih jauh di bawah harga produksi di Indonesia.
Pihaknya juga telah menyampaikan rencana kenaikan HPP kepada pihak terkait dan melakukan perhitungan terhadap biaya pokok produksi. Berdasarkan perhitungan tersebut, biaya pokok produksi saat ini mencapai Rp13.649.
“Dengan harga produksi mencapai Rp13.649 dan bila memperhitungkan dengan keuntungan beban bunga kurang lebih 10%, maka harga yang menguntungkan adalah Rp15.000,” ujar Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikoen dalam program Market Review IDX Channel, Selasa (13/6/2023).
Pihaknya tidak menuntut kenaikan hingga Rp15.000, namun setidaknya pemerintah bisa menetapkan HPP selaras dengan biaya produksi yang mencapai Rp13.600. Pasalnya, petani tebu semakin dirugikan khususnya dengan harga unsur pendukung produksi gula yang mengalami kenaikan, mulai dari harga tenaga kerja yang naik hingga 2 kali lipat, harga bahan bakar minyak (BBM), bahkan hingga harga pupuk.
Adapun harga pupuk merupakan faktor yang paling menjadi perhatian petani tebu. Pasalnya, petani harus merasakan kenaikan harga pupuk lantaran alokasi subsidi pupuk untuk petani tebu mengalami penurunan mulai dari 2019 dan 2020.
Bahkan, 95% petani sudah beralih menggunakan pupuk non subsidi pada 2020. Ini dilakukan karena berbagai pertimbangan, salah satunya adalah kemudahan untuk menjangkau pupuk non subsidi. Adapun harga pupuk non subsidi ketika belum memasuki musim pupuk adalah Rp4.000, atau 2 kali lipat harga pupuk subsidi.
“Namun, ketika masuk ke musim panen, harga pupuk bisa capai 4x lipat harga pupuk subsidi. Biasanya dibutuhkan Rp2,5 juta untuk 1 hektar tanah, ini bisa meningkat hingga minimal Rp8 juta hingga Rp10 juta. Kalau harga gula tidak ikut naik, tentu petani akan semakin meninggalkan tebu,” bebernya.
Selain itu, pihaknya juga meminta pemerintah menyerahkan harga penjualan kepada mekanisme pasar. Sejak 2016, Soemitro mengatakan, pemerintah telah menetapkan harga acuan penjualan (HAP) yang mengancam keberlangsungan petani karena harga yang stagnan dari tahun ke tahun.
“Harga di konsumen harus dinamis dengan tidak mengikat pada HAP, karena ini bukan kepentingan kami tapi kepentingan konsumen, Ini tidak memberikan gairah dan membatasi pergerakan harga. Padahal pemerintah bisa melindungi konsumen dengan operasi pasar ketika harga tinggi,” katanya.
(FRI)