IDXChannel - Penurunan harga dan sanksi Barat membuat industri batu bara Rusia terancam kolaps.
Dilansir dari Moscow Times, harga batu bara termal yang digunakan untuk pembangkit listrik, dan batu bara metalurgi yang penting untuk produksi baja, melonjak antara 2021 dan 2023 di tengah pemulihan pascapandemi dan ketidakpastian pasokan akibat perang di Ukraina.
Namun, lonjakan tersebut kini telah berakhir.
Produksi telah meningkat secara global, terutama di China, India, dan Indonesia, sementara permintaan global telah melambat. Pertumbuhan konsumsi turun dari 4,7 persen pada 2022 menjadi hanya 1,0 persen pada 2024, menyebabkan harga anjlok dari USD400 per ton pada akhir 2022 dan awal 2023 menjadi sekitar USD100 per ton pada Mei 2025.
Sementara itu, batu bara Rusia dijual dengan harga diskon besar.
Rusia, yang menjual sekitar 22,6 persen batu baranya ke Uni Eropa pada 2021, terkena embargo Eropa yang memaksa produsen mengalihkan pengiriman ke Asia, tempat para pembeli memanfaatkan gangguan tersebut untuk menegosiasikan harga yang lebih rendah.
Harga ekspor Rusia turun menjadi USD69 per ton FOB di pelabuhan-pelabuhan di wilayah Timur Jauh pada akhir Juni — terendah sejak 2020, menurut harian bisnis Vedomosti.
Berdasarkan ketentuan FOB, penjual menanggung pengiriman ke pelabuhan tetapi tidak menanggung angkutan laut. Biaya produksi dan pengiriman satu ton batu bara termal di sepanjang rute timur diperkirakan mencapai 6.000 hingga 6.500 rubel. Artinya, mengingat rubel yang kuat saat ini, harga jual USD70 per ton (sekitar 5.500 rubel dengan nilai tukar saat ini) tidak menguntungkan bagi banyak perusahaan yang berlokasi jauh dari pelabuhan-pelabuhan Timur Jauh.
Porsi perusahaan batu bara yang merugi melonjak dari 31,5 persen pada 2023 menjadi 53,3 persen pada 2024, menurut statistik resmi.
Meskipun menghadapi tantangan, pemerintah sepertinya tidak akan membiarkan industri batu bara kolaps.
Sekitar 146.500 orang bekerja di industri batu bara di Rusia dan sekitar 30 kota secara ekonomi bergantung pada sektor ini. Kolapsnya industri ini akan menjadi bencana besar bagi komunitas-komunitas tersebut. (Wahyu Dwi Anggoro)