Akbar melanjut, jika dibandingkan Indonesia, industri besi dan baja China punya produktivitas yang jauh lebih banyak. Menurut dia, Indonesia hanya mampu menghasilkan 20 juta ton per tahun produk besi dan baja, sedangkan China memiliki kapasitas produksi hingga 1 miliar ton.
"Dengan volume produksi 1 miliar ton baja, China ini tentu mencari market. Sedangkan dalam negeri kita yang tadi saya sampaikan, ini tidak lebih di bawah dari 20 juta ton per tahun kapasitas produksi, tetapi utilisasinya hanya 60 persen. Jadi ini yang jauh lebih krusial yang harus kita bicara dengan pemerintah," ujar Akbar.
Akbar menilai sudah sepatutnya pemerintah mengkaji lebih dalam terkait regulasi dan bagaimana tata niaga impor untuk menjaga industri dalam negeri. Ia pun mencontohkan langkah Amerika Serikat yang sudah menerapkan tambahan bea masuk serta kebijakan anti-dumping hampir mencapai 200 persen sebagai bantalan.
"Ini luar biasa, artinya negara superpower seperti Amerika pun sangat menguatirkan importasi yang sangat masif dari China. Nah, apa yang kita bisa ambil daripada pelajaran ini, bagaimana kita menyikapi importasi serta proteksi produksi baja dalam negeri. Ini yang harus kita sikapi, bukan masalah ketidakmampuan atau kurangnya daya saing," tuturnya.
(Febrina Ratna)