Salah satu pasal yang menurutnya bisa menimbulkan delik dalam hal pelaksanaan, yakni adanya larangan penjualan dalam radius 200 meter di fasilitas pendidikan. Dia menilai aturan tersebut merupakan pasal karet yang bisa menimbulkan salah tafsir.
“Gampang sekali (aturan ini) dipelintir di lapangan. Akhirnya praktik di lapangan akan terjadi tahu sama tahu atau kompromi. Ini kan yang kita tidak inginkan. Nanti cost ekonomi kita jadi besar karena ada pasal karet yang dalam pelaksanaannya dimanfaatkan oknum,” kata Roy.
Dia menilai, seharusnya pemerintah lebih menggencarkan sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait konsumsi tembakau, dan bukan hanya meningkatkan intensitas pembatasan serta larangan yang berpotensi mengganggu laju ekonomi dalam negeri.
“Jangan berharap konsumsi rumah tangga sebagai kontributor Gross Domestic Product kita bisa mencapai sampai 6-7 persen,” pungkasnya.
(NIY)