Maka dari itu, perlu dipersiapkan dari sisi gelombang instabilitas moneter secara global. Yang pertama adalah bagaimana pemerintah bertindak all-out dengan berbagai cara menjaga agar sisi fiskal bisa menjadi bantalan, seperti melalui subsidi energi, subsidi pangan, bahkan bantuan pupuk untuk para petani sehingga baik inflasi energi maupun inflasi pangan bisa terjaga hingga akhir tahun, sampai pemulihan daya beli masyarakat di Indonesia pulih seperti kondisi pra-pandemi.
"Kemudian, yang kedua, mengurangi ketergantungan terhadap impor. Karena, transmisi dari resesi ekonomi di AS akan menjalar ke nilai tukar dan akan membuat barang-barang impor terutama impor pangan akan menjadi lebih mahal. Jadi, ini adalah kesempatan untuk mendorong produktivitas pangan di dalam negeri sehingga ketergantungan terhadap impornya bisa ditekan," jelas Bhima.
Selanjutnya, adalah bagaimana caranya memberikan stimulus kepada pelaku usaha khususnya UMKM sehingga UMKM bisa pulih lebih cepat dan siap menghadapi tekanan eksternal, salah satunya adalah mendorong penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), program-program pendampingan terutama UMKM go digital, dan memperluas pasar UMKM sehingga bisa mendorong ekspor maupun pemenuhan kebutuhan domestik lebih besar lagi.
"Yang terakhir adalah jaminan sosial, tentunya banyak pekerja yang rentan jatuh miskin ketika terjadi resesi ekonomi, terjadi gejolak, dan pekerja ini harus dilindungi oleh jaminan sosial dari pemerintah. Jadi bantuan subsidi upah itu diperlukan dan seharusnya dilanjutkan, bantuan jaminan sosial sebaiknya tetap dilanjutkan hingga 2023," pungkas Bhima.
(SAN)