IDXChannel – Ada sejumlah fakta aliran uang untuk investasi ilegal crazy rich yang diungkap oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal ini merupakan buntut panjang kasus beberapa crazy rich yang telah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus investasi ilegal yang sangat merugikan.
Dari kasus ini, banyak crazy rich diduga melakukan pencucian uang dari investasi bodong dengan skema ponzi. Berdasarkan analisis PPATK, muncul dugaan adanya penipuan dan pencucian uang dalam kasus investasi ilegal. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan berhati-hati ketika akan melakukan investasi. Apalagi, dalam jumlah yang besar.
Ada beberapa fakta aliran uang untuk investasi ilegal crazy rich yang tengah ditelusuri PPATK. IDXChannel merangkum fakta tersebut sebagai berikut.
6 Fakta Aliran Uang untuk Investasi Ilegal Crazy Rich
1. PPATK Bekukan 121 Rekening
Fakta aliran uang untuk investasi ilegal crazy rich yang pertama adalah terdapat 121 rekening yang dibekukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pada 10 Maret 2022, PPATK melakukan pembekuan rekening terkait dugaan praktik investasi ilegal yang menyeret sejumlah influencer yang dijuluki crazy rich. Ada sebanyak 121 rekening yang telah dibekukan dengan total dana hampir mencapai Rp355 miliar.
Menurut Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, pihaknya selalu menemukan perkembangan baru dalam pendalaman kasus investasi ilegal crazy rich ini. Ia pun menyebutkan bahwa pendalaman kasus ini akan terus dilakukan.
2. Aliran Uang Hingga ke Luar Negeri
Tak hanya membekukan 121 rekening, Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana juga mengaku dalam kasus ini, ia menemukan aliran uang baik dari luar negeri maupun ke luar negeri.
Aliran uang ini antara lain ke Singapura, Australia, Amerika Serikat, dan China. Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (10/3/22).
"Iya, kita menemukan ada beberapa transaksi yang terkait dengan pihak luar negeri, baik transaksi ke Indonesia ataupun transaksi dari Indonesia ke luar negeri, itu ada ke Singapura, Australia, Amerika Serikat, dan kemudian China," ujar Ivan Yustiavandana, Kamis (10/3/22).