IDXChannel - Reaksi pasar terhadap keputusan mengejutkan OPEC+ untuk memangkas produksi hingga lebih dari satu juta barel per hari cukup jelas. Harga minyak melonjak paling tinggi dalam lebih dari satu tahun terakhir.
Meski demikian, bagaimana hal ini akan berdampak pada upaya global untuk mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil yang menyebabkan perubahan iklim masih belum jelas.
Dilansir dari Bloomberg pada Selasa (4/4/2023), kenaikan harga energi akibat invasi Rusia ke Ukraina sempat menghambat transisi dari bahan bakar fosil. Dampak perang memaksa negara-negara yang sebelumnya progresif dalam hal iklim beralih kembali ke batu bara dan gas.
Menurut Ole Sloth Hansen, kepala strategi komoditas di Saxo Bank, guncangan harga yang disebabkan keputusan OPEC mungkin memiliki dampak berbeda.
"Semakin tinggi biaya bahan bakar tradisional, semakin besar insentif untuk melanjutkan transisi, Ini alasan mengapa OPEC tidak ingin membunuh pasar mereka dengan mendukung harga minyak di atas USD100 per barel. Hal itu akan merusak permintaan dan mempercepat transisi," kata Hansen.
Teknologi dan sumber daya ramah lingkungan semakin terjangkau setelah dua tahun mengalami kenaikan biaya. Sebagai contoh, lithium, ketika harga minyak naik awal pekan ini, harga bahan baku baterai tersebut turun hampir 3 persen. Hal ini memudahkan produsen mobil seperti Tesla Inc. untuk menurunkan harga produknya.
Harga bahan penting lainnya juga mengalami penurunan. Polysilicon yang digunakan untuk membuat panel tercatat lebih murah 30 persen dibandingkan tahun lalu. Harga baja yang digunakan untuk membuat turbin angin turun 40 persen di Eropa dan lebih dari 20 persen di Amerika Utara dibandingkan 2022.
Akan tetapi, walaupun harga minyak yang lebih tinggi mampu membuat kendaraan listrik (EV) dan opsi alternatif lainnya menjadi lebih menarik, beralih ke sana tidaklah mudah. Sementara itu, pemotongan produksi oleh OPEC+ dapat menyebabkan negara-negara lain, terutama AS, untuk melakukan lebih banyak ekstraksi.
“Anda mungkin akan melihat investasi minyak dan gas yang sedikit lebih tinggi. Tetapi perusahaan energi besar tidak akan menyesuaikan rencana transisikarena pemangkasan produksi OPEC+,” kata Will Hares, analis di Bloomberg Intelligence.
Inflasi adalah ancaman yang lebih besar terhadap transisi energy. Kenaikan harga minyak dapat mendorong inflasi dan memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga. Hal ini dapat menyebabkan pembiayaan beberapa proyek energi terbarukan berskala besar yang bergantung pada utang murah menjadi sulit. Selain itu, hal ini juga dapat membuat biaya penambangan logam-logam penting yang diperlukan untuk memproduksi baterai, turbin angin, dan kabel dan lainnya menjadi lebih mahal.
Namun, menurut Torsten Lichtenau, anal;isdi Bain & Co., dampak negatif dari pemangkasan produksi OPEC+ kemungkinan akan diimbangi faktor-faktor lain yang mendorong pergerakan jangka panjang menuju dekarbonisasi.
“Keamanan energi memiliki dampak yang jauh lebih besar pada transisi energi. Dalam jangka panjang, hal ini akan mempercepat transisi energi,” kata Lichtenau. (WHY/Anggerito Kinayung Gusti)