Faktor kedua adalah output gap yang tercatat positif yang mengindikasikan peningkatan sisi permintaan. Pada kuartal II-2022 lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,44% year on year (yoy), di atas ekspektasi, yang berimplikasi pada positifnya output gap dari Indonesia.
Adapun faktor ketiga potensi penurunan surplus dari transaksi berjalan pada akhir tahun, seiring dengan normalisasi harga komoditas global.
"Penurunan nilai transaksi berjalan berpotensi mempengaruhi fundamental nilai tukar Rupiah sehingga akan mempengaruhi nilai tukar rupiah mengingat ekspektasi harga komoditas yang akan melandai kedepannya," ujarnya.
Josua mengungkapkan, dengan kenaikan suku bunga acuan BI di bulan Agustus, ditujukan untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti dalam jangka pendek dan menengah. Instrumen dari suku bunga sendiri pada dasarnya hanya mampu menahan laju dari inflasi inti, dan bukan dari sisi inflasi barang bergejolak atau barang yang diatur pemerintah.